Senin, 27 Mei 2013

Sejarah Afrika


BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang Masalah
Sekitar tahun 1875 bangsa Barat sudah mulai masuk ke benua Afrika. Awalnya benua Afrika merupakan Negara asing tetapi semenjak awal para penjelajah mengelilingi dunia maka Afrika mulai menjadi daya tarik tersendiri terlebih lagi Benua Afrika memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Awalnya Negara Jerman lah yang berhasil menduduki benua Afrika. Tetapi berkat kegigihan Prancis dan Inggris berhasil menaklukkan beberapa kawasan di Afrika, sehingga mereka bersepakat untuk mengambil keputusan bahwa Negara yang awalnya menjadi koloni Jerman maka diambil alih oleh mereka.
Koloni- koloni yang dikuasai oleh Prancis mengambil doktrin “asimilasi”. Tetapi tidak semua daerah koloni- koloni Prancis mampu menerapkan doktrin tersebut karena tingkat pendidikan tiap wilayah yang berbeda- beda.

1.2   Rumusan Masalah
a.       Bagaimana bangsa Barat di Afrika ?
b.      Bagaiman kedudukan Prancis di Afrika ?

1.3   Tujuan Penulisan
a.       Untuk mengetahui bangsa Barat di Afrika.
b.      Untuk mengetahui kedudukan Prancis di Afrika.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Kekuasaan Bangsa Barat di Afrika

a.       Afrika pada tahun 1875-1914
                Pada sekitar 1875 barulah 10,8% dari daerah Afrika di bawah kekuasaan atau pengaruh bangsa Barat. Pada waktu itu di daerah Afrika seluas 1.250.000 mil persegi adalah milik Spanyol, Portugal, Perancis dan Inggris. Dengan mengikut sertakan Afrika di bagian selatan yang seluas 250.000 mil persegi, Inggris memiliki daerah terbesar di Afrika. Kekuasaan Prancis hanya terbatas di pantai sebelah Utara, pos-pos terasing di Senegal dan pantai Guiner, seluruhnya diperkirakan meliputi 170.000 mil persegi. Daerah milik Portugal terutama terdapat di sepanjang pantai Angola dan Mozabique, sedangkan milik Sepanyol terletak di Afrika Barat laut seluas kira-kira 1000 unit persegi. Di samping kekuasaan bangsa Barat tersebut di atas, terdapat pula kekuasaan Turki di pantai utara. Akan tetapi kekuasaan turki ini hanya terbatas di Tripoli, sedangkan di Mesir dan Sudan, seperti halnya Maroko dan Tunisia secara praktis kekuasaan Turki tersebut sudah tidak ada. Sebagian besar daerah Sahara meliputi daerah seluas 40.000.000 sampai 50.000.000 mil persegi berada di bawah kekuasaan Islam dan daerah di sepanjang pantai timurdi kuasai oleh Sultan Zanzibar. Di luar daerah- daerah tersebut di atas di dalam oleh penduduk bumiputera yang hidup terasing dari dunia luar. Hanya di Sudan dan Afrika Timur terdapat pemerintahan Bumi Putra yang telah teratur baik.
Perhatian bangsa Barat terhadap Afrika menjadi bertambah besar sesudah rahasia kekayaan alam benua “Gelap” itu di buka oleh penjelajah- penjelajah terkemuka, di antaranya D. Livingstone dan H.M. Stanley. Penjelajahan daerah pedalaman makin di pergiat sesudah di bentuk lembaga “International Assosiation for the Exploration and Civilization of Central Afrika” 1876 atas intensif Leoparld II Raja Belgia. Pada 1878 didirikan “Committee for the Study of the Upper Congo” dan pada tahun1882 didirikan “Association International du Congo”, keduanya merupakan cabang-cabang dari International Assosiation tersebut di atas. Terbitlah buku-buku Missionary Travels in South Afrika 1885, the Zambies and its Tributaries 1865, berisi kumpulan pengalaman penjelajah D. Livingston dan Through the Dark Continent 1878, the Congo 1885 oleh H.M. Stanley mengakibatkan makin banyak bangsa-bangsa barat yang tertarik dengan Benua Afrika. Bangsa Barat merebutkan daerah-daerah ke Afrika yang mengadung komersil yang besar, penting untuk memenuhi kebutuhan industri dan memiliki penduduk yang dapat dipakai untuk kepentingan perang, mempunyai letak yang penting untuk strategi perang, di samping dapat pula dipakai sebagai tempat pemerintahan penduduk.             
                Para pedagang dan jejajah memegang peranan yang sangat penting. Pada masa imperalisme modern itu seakan-akan muncul kembali ke perserikatan-perserikatan dagang yang mendapatkan hak-hak kenegaraan seperti EIC dan VOC pada abad yang lain. Chartered Companies tersebut dapat membuat perjanjian-perjanjian baik bersifat ekonomis maupun politis dengan kepala-kepala suku bumiputera. Dengan demikian kongsi-kongsi itu memiliki tanah- tanah kolonial yang makin lama makin memperluas. Menurut J.A. Hobson, masa antara 1885, dan 1900 adalah masa ekspensi yang paling kuat bagi Negara-negara besar di Eropa. Pada masa-masa itu seakan-akan Eropa Barat memegang Hegemoni di Dunia.                Kongres Berlin II 1885 adalah sidang yang pertama- tama merundingkan soal Afrika di antara Negara-negara barat. Yang hadir pada kongres tersebut adalah semua Negara Eropa, selain Swiss dan Negara- negara Balkan, di tambah Amerika Serikat. Kongres pemutusan nasib Congo pelayaran di sungai Niger dan sekitar masa perbudakan.

b.      Afrika pada masa Perang Dunia I dan masa Sesudahnya.
Ketika di Eropa terjadi Perang Dunia I 1914-1918, Inggris dan sekutunya berusaha merebut kekuasaan Jerman di Afrika. Oleh sebab itu maka Inggris bersama Belgia dan Perancis di bantu oleh Uni Afrika Selatan menyerbu kolonial- kolonial Jerman dan mengusir kekuasaan lawan tersebut. Dalam waktu singkat Togo dapat direbut oleh gabungan tentara Inggris dan Perancis. Angkatan perang Uni Afrika selatan di bawah pimpinan Jendral Smuts bersama tentara Belgia membantu perjuangan Inggris melawan kekuatan Jerman di Afrika Timur. Sementara itu angkatan perang Uni Afrika selatan di bawah Jendral Botha berhasil menduduki daerah Afrika Barat Daya Jerman. Di Afrika Barat, tentara Inggris Prancis berhasil mengusir kekuasaan Jerman dari Kamerun. Dapat dimengerti bahwa pertahanan Jerman akhirnya patah disebabkan karena hubungan dengan negri induk telah di putus, sehingga kebutuhan akan perlekapan perang dan tambahan tentara tidak dapat di penuhi.
Pada awal 1916, ketika hasil perang belum dapat di pastikan, Inggris dan Prancis telah bersepakat untuk membagi bekas kolonil Jerman di Afrika. Di dalam perjanjian perdamaian diputuskan bahwa Negara Jerman harus melepaskan koloni yang di milikinya. Akan tetapi bekas koloni Jerman tersebut tidak di aneksasikan atau di gabungkan kepada Negara-negara koloni pemegang perang. Maka konferensi perdamaian tersebut berusaha mendapatkan suatu sistem baru untuk diterapkan kepada bekas koloni Jerman. Dalam usaha menemukan pola baru ini, jendaral Smuts merupakan bapak apa yang dari kemudian di sebut system mandate. Istilah “perwakilan” atau “mandat” mengandung isi tanggung jawab bangsa-bangsa yang telah maju atau pembanguan dan kemakmuran penduduk yang masih terbelakang.
Pada 1919, panitia yang telah di tunjuk untuk merencanakan semuah daerah mandate (selain untuk asia barat) bersidang di London. Sesudah mengalami perbincangan yang lama pada akhir 1920 di capai persetujuan Afrika Barat Daya. Bekas Koloni Jerman ini, karena bekas di duduki oleh Uni Afrika Selatan pada masa Perang Dunia I, maka Uni Afrika Selatan di tunjuk untuk mandatarisnya. Kemudian pada pertengahan 1922 di peroleh ketentuan untuk daerah mandate lainnya Inggris di tunjuk mandataris untuk Afrika Timur Jerman, yang kemudian di sebut Tangayika, sedangkan Belgia yang semula termasuk daerah Afrika Timur Jerman. Dengan ini Rwanda-Burudi yang dulu di rebut oleh jerman dari tangan Belgia, di kembalikan kepada Belgia. Di sebelah barat, Togo dan Kamerun menjadi daerah mandate Inggris dan Perancis. Semuah darah mandate tersebut di atas termasuk klasifikasi B, selain Afrika Barat yang termasuk klasifikasi C, di sebabkan karena penduduk yang masih terbelakang.
Adapun tugas dan kewajiban mandataris adalah membuat laporan tahunan mengenai administrasi tahunan mengenai administrasi pemerintahan di daerah mandate dan harus mempertanggung jawabkan  perkembangan daerah mandate kepada permanen Mandates Commision, sebuah panitia dari lembaga bangsa-bangsa.

c.       Afrika Pada Masa Perang Dunia II dan masa sesudahnya
Pada masa berkobarnya Perang Dunia II 1939-1945, benua Afrika di pergunakan untuk kepentingan strategi perang dan ekonomi. Kepentingan strategi perang itu terutama di sebabkan sesudah Italia bergabung pada poros AS yang memungkinkan garis hidup Inggris dan Perancis dari laut Tengah ke Timur tengah terancam. Juga karena perancis jatuh dan di duduki oleh Nazi Jerman, menyebabkan koloni Perancis di Afrika Utara dan sebelah selatan Sahara tidak dapat memberikan sumbangan kepada pihak sekutu. Instalansi-instalansi militer yang vital bersama dengan pangkalan- pangkalan udara di kuasai oleh pemerintah Prancis Vichy. Akibatnya pangkalan udara Inggris di Afrika Utara menduduki tempat yang amat penting dalam rute komunikasi di benua Afrika.
Afrika penting untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, lebih-lebih sudah sebagai besar daerah-daerah koloni Negara-negara demokrasi jatuh ke tangan fasis Jepang yang menyebabkan pihak sekutu kehilangan sumber-sumber bahan mentah tropis pada mineral yang sangat berharga. Dalam keadaan ini, Amerika Serikat dan kawan-kawan sangat tergantung kepada bahan mineral dan bahan mentah dari Afrika.
Sesudah perang selesai, daerah-daerah mandate di jadikan trust di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa- Bangsa. Perubahan ini di adakan kenyataan parlement Mandates Commission yang setiap tahunnya bersidang di Geneva untuk memperbincangkan masalah mandate tidak mempunyai hak untuk mengatur daerah mandate. Commission berfungsi hanya untuk menjadi penasehat, tidak hanya mempunyai hak penelidikan ke daerah mandate, dan tidak dapat memanggil saksi-sakis yang di perlukan. Daerah-daerah trus dapat secara langsung menyampaikan petisi kepada Trusteeship Council atau seseorang perorangan dapat mengirimkan petisan. Apabila perorangan memerlukan pemeriksaan daerah trus, maka council memberikan laporan tahunan kepada Sidang Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa. Perubahan citra ekonomi di Negara induk juga membawa pengaruh kepada perkembangan politik kolonial. Demikian pula situasi politik kolonial-kolonial sering mendesak agar polotik kolonial diubah. Bagi inggris politik ekspolitasi tanah jajahan di ganti dengan “trusteeship” atau “partnership”.

2.2   AFRIKA PERANCIS

a.       Koloni Prancis di Afrika
Sebagian besar daerah Kolonial Prancis tersebut di atas terletak di Afrika Barat laut, Afrika Barat dan Afrika Equatorial. Ketiga wilayah yang luas itu berhubungan satu dengan yang lainnya, terbentang diantara pantai Laut Tengah bagian barat hingga Teluk Guinea, disela beberapa daerah milik Spanyol,  Portugal dan Inggris. Perbedaan iklim dan tingkat peradaban serta kebudayaan, maka perkembangan di kolonial Prancis di Afrika pantai Laut Tengah atau Afrika Arab berbeda dengan kolonial- kolonial di sebelah selatan Sahara. Masalah kolonis- kolonis Prancis yang mendesak keadaan sosial ekonomi penduduk bumiputra di Tunis, Aljazair dan Maroko tidak pernah ada di Afrika Hitam Prancis. Daerah milik Prancis di Afrika Timur sangat terbatas. Satu- satunya yang terletak di benua adalah tanah Somali dengan Kota Djibouti. Tetapi justru karena memiliki Djibouti, Prancis ingin memperluas wilayahnya dari Afrika Barat hingga Afrika Timur atau dari Dakar ke Djibouti. Prancis ingin membentuk imperium dari Samudra Atlantik ke Samudra Hindia. Krisis Fashoda 1898 mengakibatkan cita- cita tersebut tidak dapat terwujud. Daerah lain di Afrika Timur berupa pulau- pulau; yang terbesar adalah Pulau Madagaskar yang berukuran lebih luas luas daripada Prancis. Penduduknya walaupun terdiri atas orang- orang campuran bangsa Arab dan Negroid namun ciri- ciri Polinesia dan Melanesia Nampak lebih banyak. Pada tahun 1896 Pulau Madagaskar dianeksasi oleh Prancis, sesudah terjadi persaingan dengan misionaris- misionaris Inggris yang bekerja di pulau Madagaskar. Penghidupan penduduk pada umumnya dari pertanian seperti kopi, tebu, padi, panili, dan cengkeh yang hasilnya sebagian besar di ekspor ke luar negeri. Pulau Reunion diketemukan oleh orang- orang Portugis pada tahun 1528, tetapi sejak abad ke-17 menjadi milik Prancis. Berdasarkan konstitusi Prancis 1946 Reunion dijadikan Departemen di seberang lautan dan kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang Prefect yang ditujuk oleh Menteri Dalam Negeri Prancis. Kepulauan Comoro yang sebagian penduduknya terdiri atas orang Arab dan beragama Islam, sebagian lagi orang Afrika, Madagaskar, dan Asia. Kepulauan tersebut pada tahun 1912-1946 diperindah bersama dengan Madagaskar. Dan berstatus daerah otonomi Prancis dengan seorang High Commissioner yang bertugas sebagai wakil Pemerintah Prancis memegang kekuasaan dan bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan pulau- pulau tersebut.

b.      Politik Kolonial Prancis di Afrika
Sebelum Perang Dunia II, politik Prancis pada daerah koloni- koloninya mengambil sebuah doktrin “ Asimilasi “. Teori ini beranggapan bahwa orang- orang Afrika dapat dijadikan orang Prancis. Prinsip tersebut mengandung gagasan yang tercetus pada zaman Revolusi yaitu “equality” dan “fraternity” yang mengandung filsafat politik yang kemudian dianut oleh Imperium Prancis yang disebut “Paternalisme”. Tujuan politik asimilasi tersebut adalah mengintegrasi daerah milik di seberang lautan dengan Prancis; mengasimilasi penduduk koloni dalam kerangka prancis baik politik, sosial, ekonomi, etnis, religius maupun kultural. Maka untuk mencapai tujuan tersebut bahasa- bahasa dan kebudayaan Afrika tidak dimasukkan dalam pendidikan kolonial Prancis.
Cita- cita membentuk bloc francais berarti politik kolonial Prancis tidak pernah memiliki suatu program untuk memajukan koloni menuju ke arah pemerintahan sendiri. Sistem pemerintah Prancis yang disebut “direct rule” sesungguhnya adalah pemerintahan oleh pegawai- pegawai dari pemerintahan metropolitan atau berdasarkan kepentingan- kepentingan metropolitan. Dan dalam pemerintahan tersebut, tiap wilayah konial ikut mengambil bagian. Untuk mengasimilasi penduduknya maka tiap koloni harus muncul kelompok- kelompok yang berpendidikan. Maka diperlukan keadaan yang tenang, diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang baik tetapi terbatas, diselenggarakan pekerjaan umum dan dimasukkan ke dalam kekuataan ekonomi baru. Tetapi hasil yang didapat tiap koloni tidaklah sama. Bahkan ada koloni yang tidak dapat dikenakan politik asimilasi karena tingkat kemajuan penduduknya rendah. Maka politik asimilasi dengan politik asosiasi untuk koloni dengan kemajuan yang rendah. Politik asosiasi yaitu memberikan pendidikan bagi sebagian kecil penduduk bumiputera (golongan elit) dan diajak untuk bekerjasama dengan pegawai- pegawai Prancis untuk membawa kultur Barat kepada penduduk yang lain.
Selain bidang struktur pemerintahan yang dikuasai oleh Prancis, bidang ekonomi juga. Di bidang ekonomi yaitu perkembangan industri tidak didorong, pengaturan bea cukai mengakibatkan koloni terkena sistem monopoli serta eksploitasi dijalankan di daerah kolonial. Saat Perang Dunia II, Prancis diduduki oleh Jerman. Maka ada dua kepemimpinan yaitu Prancis Vichy yang bekerjasama dengan pemerintahan Nazi Jerman, dan pemerintahan De Gaulle yang berada di Inggris. Dan pada tahun 1943, pemerintahan Prancis Vichy di usir dari Afrika, maka daerah kolonial dipegang oleh French Committee of National Liberation. Sedangkan seorang pemimpin di Afrika yang bernama Eboue memihak pada pemerintahan De Gaulle. Kemudian mempunyai insiatif untuk mengadakan konferensi di Brazzaville (1944). Konferensi Brazzaville 1944 mengambil keputusan mencakup tiga bidang yaitu :

·         Organisasi Politik
Organisasi Politik Kolonial Prancis
1.       Diharapkan daerah koloni- koloni mempunyai wakil di dalam Assembly yang akan dibentuk dan bertugas membuat rencana konstitusi baru bagi Prancis.
2.       Sangat diperlukan adanya wakil- wakil koloni dalam pemerintahan pusat di Prancis Metropolitan, agar pemerintahan menjadi lebih lengkap dan lebih teratur daripada masa sebelumnya.
3.       Setiap proyek pembaharuan yang ditujukan untuk memperbaiki sistem perwakilan yang dibuat pada 1939 atau mempertimbangkan menambah jumlah wakil- wakil koloni untuk Majelis Tinggi dan Majelis Rendah Parlemen Prancis adalah tidak sesuai lagi.
4.       Hendaknya dibentuk suatu badan baru yang disebut Colonial Parlement atau lebih tepat disebut Federal Assembly yang adapat memenuhi cita- cita: menjamin French Federation ialah kesatuan Prancis dan koloni- koloninya yang tidak dapat dipisahkan.
5.       Penguasa legislatif di koloni- koloni dalam melaksanakan tugasnya harus menyesuaikan diri dengan keputusan- keputusan yang diambil oleh kekuasaan sentral atau badan federasi dan juga dari berbagai daerah.

Organisasi Politik di Kolonial
Lembaga- lembaga konsultatif dihapuskan dan diganti dengan lembaga- lembaga politik yang lebih berguna dalam memperlengkapi kepentingan administrasi di koloni. Pergantian lembaga- lembaga konsultasi antara lain :
1.       Councils of subdivision dan Regional Councils beranggotakan bangsawan- bangsawan bumiputera dan jika mungkin dilengkapi dengan lembaga- lembaga tradisional yang ada.
2.       Dewan- dewan Perwakilan yang anggotanya sebagian terdiri atas orang- orang Eropa dan sebagian lainnya penduduk bumiputera. Anggota- anggota lembaga- lembaga tersebut harus dipilih melalui pemilihan umum, dimanapun dan bilamanapun peraturan tersebut dapat dijalankan.

·         Masalah- masalah Sosial
Beberapa pokok-pokok yang perlu diperhatikan :
1.       Syarat mutlak untuk memajukan benua Afrika adalah memajukan penduduk bumiputera.
2.       Kemajuan benua Afrika tidak dapat dicapai tanpa kerjasama dengan orang- orang non Afrika dan usaha- usaha non Afrika yang jumlahnya amat besar.
3.       Berbagai macam perdagangan secara berangsur- angsur harus beralih ke tangan penduduk bumiputera.
4.       Pendidikan bagi bumiputera diarahkan agar dapat memenuhi kebutuhan kantor- kantor umum.
5.       Kebutuhan akan tenaga administrasi dalam jumlah besar tidak dapat dielakkan.

·         Masalah- masalah Ekonomi
Tujuan politik ekonomi kolonial adalah untuk memajukan produksi dan membawa kemakmuran bagi penduduk di seberang lautan. Caranya dengan menaikkan standar hidup penduduk. Pemerintah menganjurkan adanya industrialisasi di tanah- tanah koloni dan kerja penelitian untuk memperbaiki kwalitet pertanian atau hasil lainnya.

Struktur politik baru dinyatakan bahwa Prancis bersatu dengan koloni- koloninya dalam suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pelaksanaan program memajukan ekonomi membutuhkan modal yang besar. Oleh sebab itu, dibentuk suatu lembaga seperti Colonial Development and Welfare Fund milik Inggris yang disebut The Investment Fund for Economic and Social Development (Fides) dan Caisse Centrale. Sejak 1945 Prancis menanamkan modalnya 3/4 billiun dolar di Afrika Barat dan Equatorial. Untuk pembiayaan proyek- proyek, pemerintah daerah memikul 55% dan pemerintah kolonial 45%. Daerah milik Prancis hamper tidak mengenal diskriminasi ras. Perkawian campuran antara orang Prancis dan penduduk bumiputera dari golongan elite sering dilakukan. Banyak orang Prancis melakukan emigrasi ke Afrika.

c.       Pelaksanaan Politik Kolonial Perancis di Afrika
Di Afrika, daerah koloni Perancis terbagi menjadi dua yaitu Afrika “Hitam” dan juga Afrika “Arab”. Afrika Hitam Perancis ini seperti Afrika Barat yang meliputi daerah Senegal dan Pantai Gading, Afrika Equatorial, Somalia Perancis, Madagaskar, dan juga Togo. Sementara untuk daerah Arab Afrika, Kekuasaan Perancis meliputi daerah Maroko, Aljazair, serta Tunisia.

Afrika Barat
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, penerapan politik Perancis atas koloninya di Afrika adalah dengan menerapkan suatu politik asimilasi, dimana dalam penerapannya di negeri jajahannya tidak seperti membalikan tapak tangan. Hanya beberapa negara koloni saja yang dapat menerima sistem politik tersebut, salah satunya adalah didaerah Afrika Barat Perancis khususnya di negara Senegal dan Pantai Gading. Senegal yang merupakan koloni tertua Perancis di Afrika, sehingga hubungan erat yang terjalin dengan Perancis sangatlah erat dan itu juga yang menjadikan Senegal dapat berhubungan dengan  Eropa. Hubungan yang erat ini juga mempengaruhi perkembangan kultur Perancis di negara Senegal itu sendiri. Dalam hal pendidikan Senegal menduduki tingkat yang tinggi, ini dikarenakan jasa pemerintah Perancis dan juga perhatian yang besar kepada negara ini. Sekolah-sekolah menengah yang dibangun oleh pemerintah menghasilkan intelektual-intelektual “Senegalaise” yang berpendidikan. Selain itu juga dibangun sekolah-sekolah teknik, sekolah sastra, sekolah dasar, dan juga sekolah yang didirikan oleh para misionaris, selain itu dibangun pula universitas di daerah Dakar dengan nama Institute Francais d’Afrique Noire yang merupakan universsitas pertama di daerah Afrika Barat Perancis. Beberapa tokoh terkemuka lahir Senegal lahir dari hasil pendidikan yang diberikan pemerintah Perancis atas Senegal, seperti Leopold Senghor seoerang sastrawan yang terkenal sampai Eropa dan penggagasan gerakan Negritude gerakan yang mencoba untuk membendung kultur Perancis yang terus berkembang agar kultur asli Afrika di Senegal dapat dipertahankan. Selain Senghor ada pula Mamadou Dia, seorang ekonom yang nantinya akan menjadi Perdana Mentri pertama Senegal, lalu Lamine Guaye seorang walikota Senegal, dan M. Blaise Diagne seorang politikus, serta yang lainnya.
Tahun 1920 sampai 1925 dilakukan re-organisasi di Senegal yang mana pembagian wilayah administrasi. St. Louise, kota yang didirikan tahun 1659 dijadikan sebagai ibu kota dan juga pusat budaya, sementara daerah Dakar dijadikan sebagai tempat pangkalan militer. Dalam perkembangannya wilayah kota Dakar-lah yang berkedudukan lebih menonjol, ini dikarenakan wilayah Dakar yang merupakan kota pelabuhan yang letaknya sangat startegis untuk penyinggahan banyak kapal. Selain itu wilayah kota Dakar juga juga meliputi daerah kecil berupa Pulau Goree yang pada tahun 1860-an bandar-bandar yang ada dipulau itu diperbaiki dalam rangka memenuhi persyaratan pelayaran. Dengan kesibukan perdagangan itulah maka kota Dakar menyerupai kota pelabuhan di Perancis seperti Marseille dan Le Havre. Efek dari menonjolnya kota Dakar ini adalah dengan dijadikannya kota ini sebagai ibu kota Federasi Afrika Barat Perancis dari tahun 1904-1959. Walaupun pada kenyataannya wilayah Senegal merupakan wilayah miskin jika dibandingkan dengan Pantai Gading, tetapi pemerintah Perancis tetap memberikan perhatian yang besar kepada wilayah ini, sehingga wilayah ini dapat maju dengan pesat, baik dalam bidang pendidikan, politik, maupun kesejahteraan. Lebih-lebih penunjukan kota Dakar sebagai ibu kota federasi, tidak sedikit bantuan yang dikeluarkan oleh pemerintah Perancis untuk membangun kotanya tersebut. Pembangunan sarana transportasi dipergiat, sampai pada akhirnya terhubunglah jalur kereta api Dakar-St. Louise pada tahun 1885, menyusul ada tahun 1924 rute Dakar-Sungai Niger. Selain sarana transportasi, industri-industri didaerah ini juga digalakan pembangunannya, serta pembangunan bendungan Sungai Senegal dalam upaya untuk memajukan kepentingan ekonomi, transportassi, juga pertanian wilayah tersebut. Dalam bidang politik juga pemerintah Perancis menaruh hati kepada wilayah Senegal. Pada tahun 1848 pemerintah Perancis sudah mencanangkan bahwa untuk daerah koloni berhak untuk memilih wakil-wakilnya National Assembly, dan Senegal juga diberi hak untuk mengatur kotanya setingkat kotapraja. Hak semacam itu tidak pernah diperluas oleh Perancis kedalam negara-negara Afrika Barat dan Afrika Equatorial-nya. Wakil-wakil Afrika juga baru muncul selepas tahun 1914.
Tetapi setelah Perang Dunia II angin besar perubahan dalam bidang politik kolonial Perancis dapat dirasakan oleh negara-negara koloni lainnya. Setelah perang usai utusan-utusan negara koloni Perancis dari Afrika berada di Paris untuk ikut serta dalam sidang Consituente Assembly bersamaan dengan orang-orang Perancis. Peristiwa inilah yang dijadikan kesempatan bagi koloni-koloni Afrika Perancis untuk memiliki wakil di Parlemen Perancis, sebelumnya hanya Senegal saja  yang diberikan hak semacam itu. Dalam sidang tersebut pada Maret 1946, wakil-wakil Afrika memusatkan pokok tuntutan kepada persamaan hak kewarganegaraan. Mereka menekankan perlunya penghapusan buruh paksaan, peringanan pajak, pembuatan aturan mengenai hak milik tanah, sistem sewa menyewa, dan yang terakhir pengankatan standar hidup penduduk Afrika. Tuntutan-tuntutan itu bertujuan agar konstitusi yang dihasilkan yang dapat memberikan hak kepada mereka semua agar dapat mengurus masalah-masalah mereka sendiri dengan suatu hubungan semi-federal dengan Paris. Tetapi tuntutan tersebut mendapatkan penolakan dari wakil Perancis. Penolakan tersebut mengakibatkan bagi menyebarnya pengaruh solidaritas dan perasaan sama penderitaan di wilayah Afrika Perancis. Karenanya dengan ketakutan bahwa gerakan ini akan membawa kepada reaksi yang ditimbulkan pada masa depan, pada Oktober 1946 dicanangkan sebuah pembentukan French Union. Dalam French Union ini wilayah atau daerah yang tergabung didalamnya dapat mempunyai wakil didalam dewan-dewan parlemen Perancis, seperti di National Assembly, Senate, dan juga Assembly of  the Union. Disamping ada pembentukan dewan perwakilan untuk teritorial dan regional. Tetapi dengan adanya sistem politik seperti itu bukan berarti daerah koloni tersebut memiliki pemerintahan sendiri, dewan legislatif tertinggi masih dipegang oleh Parlemen Perancis begitu juga dengan Gubenur dan unit-unit dibawahnya. Hanya saja dalam pengawasan anggaran lokal kekuasaan tersebut dapat dipegang oleh dewan perwakilan. Sehingga maksud hati ingin membentuk pemerintahan sendiri tetapi pada kenyataannya dewan perwakilan tersebut adalah agen yang ikut serta dalam sistem pemerintahan Perancis dan keinginan dalam pembentukan federasi berubah dengan pembentukan suatu “Uni”.
Di lain pihak ada sisi keuntungan yang diambil oleh para wakil daerah Afrika Perancis dalam sistem pemerintahan seperti itu, karena dengan leluasa mereka dapat belajar tentang kesadaran berpolitik. Dengan adanya wakil-wakil tersebut mereka dapat lebih leluasa untuk mengkritik pemerintahan dalam upayanya untuk membawa perubahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi. Dalam sistem pemilihan umum, Perancis membaginya dalam dua bagian; pemilihan untuk warga negara Perancis dan pemilihan unruk bukan warga negara. Warga negara Perancis adalah mereka orang Perancis asli dan juga evolue bumiputra, sedangkan bukan warga negara adalah mereka para penduduk asli Afrika. Sistem pemilihan dengan dua kelompok inilah yang menjadi perdebatan hebat oleh para politisi wakil negara Afrika.
Satu lagi daerah di Afrika Barat Perancis yaitu Pantai Gading. Pantai Gading merupakan wilayah yang kaya dengan hasil-hasil bumi yang memadai, disamping tanahnya yang termasuk kedalam tanah yang subur. Tidak heran dengan apa yang sudah disebutkan diatas bahwa daerah Pantai Gading merupakan wilayah yang makmur dibandingkan dengan Senegal. Bandar Abijan merupakan bandar terbesar setelah Dakar, dan pemimpinnya adalah Felix Houphouet Boigny. Bersamaan dengan pemimpin Senegal seperti Senghor dan Gueye, Felix berjuang dengan kendaraan politik didalam lembaga eksekutif dan legislatif di Paris. Perjuangannya tentang terciptanya suatu kerja sama antara negara Afrika bekas daerah Perancis secara individual dengan Replubik Perancis, yang secara singkatnya adalah pebentukan daerah-daerah otonom yang berjumlah 8 negara yang masing-masing secara individual berhubungan dengan Paris. Caita-cita Felix ini berbeda dengan apa yang dicita-citakan oleh Senghor. Senghor sendiri menginginkan suatu Replubik Federal yang berada dalam French Union. Oleh karena perbedaan pendapat itu maka Senghor mengusulkan agar Afrika Barat Perancis dibentuk dua federasi; dengan satu beribu kota Dakar, semntara yang satunya beribu kota Abijan. Persamaan kedua tokoh pejuang kemerdekaan Afrika Barat Perancis ini adalah pendapat yang sama tentang kelangsungan hubungan dengan Perancis merupakan faktor esensial bagi perkembangan dan pembangunan di Afrika. Dengan masuknya Felix kedalam kabinet Mollet, maka tersusunlah rencana konstitusi baru mengenai masalah daerah dilaut seberang. Undnga-undang yang terkenal dengan sebutan loi Cadre atau “Skeleton Law” tersebut membawa revolusi dalam hubungan antara Perancis-Afrika. Konstitusi baru tersbut merubah corak sistem kolonialisasi yang diterapkan oleh Perancis yang dahulu bersifat asimilasi-sentralistik terpaksa harus dilepaskan, juga konsepsi tentang penduduk Afrika yang diwajibkan menjadi warga negara Perancis serta pendapat bahwa pemerintahan kolonial Perancis harus memerintah dari Paris juga harus ditinggalkan. Daerah di Afrika Perancis dapat mengatur dirinya sendiri, dan harapan tentang keberlangsungan hubungan dengan Replubik Perancis.
Diluar Senegal dan Pantai Gading, kegiatan di daerah sekitar Sudan juga mempunyai arti penting. Daerah seperti Sudan, Niger, dan Mauritinia mempunyai arti penting juga. Daerah-daerah tersebut mempunyai wilayah yang luas tetapi sebagaian besar merupakan wilayah yang kering dan juga penduduknya yang sedikit, dan mayoritas penduduknya adalah Muslim. Didaerah Bamoko ( Sudan ) pernah diselengarakan deklarasi yang ditanda tangani oleh 5 wakil-wakil tokoh Afrika Barat Perancis. Deklarasi itu sendiri menghasilkan manifesto yang berisikan cara-cara praktis dalam melakukan kordinasi tugas-tugas politik mereka, manifesto yang mencari cara perjuangan yang sama dalam memperjuangkan demokrasi politik dan sosial di Afrika. Didalam kongres deklarasi tersebut juga didirikan partai politik interteritorial yang disebut Ressemblement Democratique Africain ( R.D.A ). Partai ini mencakup semua golongan, pekerja, serikat-pekerja, organisasi kultural, dan religius.
Afrika Equatorial
Afrika Equatorial merupakan wilayah koloni Perancis di Afrika tengah, pada mulanya wilayah ini hanya mencakup daerah Gabon dan Congo Perancis, tetapi dikarenakan adanya pertentangan pelebaran kekuasaan ke Timur dan ke Barat  oleh kekuasaan Jerman dan Belgia maka pelebaran kekuasaan Perancis hanya sebatas ke Utara dan Timur Laut. Sehingga sebuah federasi yang di bentuk oleh Perancis pada tahun 1910 di Afrika Tengah ini hanya terdiri dari 3 koloni saja, yaitu Gabon, Cingi Tengah, dan Ubangi Shari-Chad. Pada tahun 1920 Chad menjadi daerah yang berdiri sendiri, sehingga koloni Perancis didaerah ini menjadi 4 daerah koloni: Gabon dengan ibu kota Libreville, Congo Tengah dengan Point-Neire, Ubangi Shari dengan Bangui, dan Chad dengan Port Lami. Tetapi pelaksanaan politik kolonial Prancis yang berdasarkan teori amisilasi, mengalami kesulitan. Menjelang pecahnya Perang Dunia II, Afrika Equatorial Prancis dan Congo Belgia banyak persamaannya. Pemerintah bersama-sama kongsi-kongsi dagang keuntungan besar, akan tetapi sesudah Perang Dunia II berakhir perkembangan kedua macam kolonial tersebut sangat berlainan. Anggaran belanja yang disediakan untuk keperluan koloni di Afrika Equatorial sangat terbatas. Sampai 1946, administrasi di Afrika Equatorial Prancis sama dengan yang berlaku di daerah-daerah Prancis lainnya. Walaupun keadaan Afrika Equatorial lebih terbelakang daripada Afrika Barat, namun Afrika Equatorial memegang peranan dalam usaha mengubah politik kolonial Prancis di Afrika. Afrika Equatorial merdeka dibawah pimpinan De Gaulle pada masa Perang Dunia II. Pandangan Prancis yang semula sangat merendahkan penduduk Afrika Equatorial berubah dan menganggap penduduk daerah tersebut sebagai pahlawan-pahlawan yang setia dan mereka itu patut diterima sebagai warganegara Prancis. Afrika Equatorial Prancis mendapat 6 kursi dari jumlah 622 dalam National Assembly. Selain ikut mengambil bagian dalam National Assembly, senat dan Assembly of the Union, pembentukan dewan-dewan lokal mempunyai arti yang lebih penting bagi hari depan penduduk. Tiap satu Grand Council dan untuk federasi dibentuk satu Grand Council. Pada akhir Perang Dunia II, perkembangan politik selanjutnya di Afrika Equatorial ini tidak dapat menyaingi Afrika Barat Prancis. Penduduknya masih bersifat feodal, pendapat ini dibuktikan dengan peristiwa ketika diadakan pemilihan wakil untuk Constituency Assembly pada 1945.
Afrika Arab
Setelah pembahasan tentang sistem kolonialisasi Perancis didaerah Afrika Barat dan juga Afrika Equatorial serta Afrika Timur yang secara garis besar terdapat persamaan, maka kondisi berbeda dirasakan pada tanah koloni Perancis yang ada didaerah Afrika Barat-Laut. Daerah yang sebagian besar berada di daerah pesisir pantai Laut Tengah terdiri dari daerah yang bernama Maroko, Aljazair, dan juga Tunisia, mempunyai persoalan tentang Plural Societies.
Daerah yang disebut Maghreb oleh bangsa Arab ini dahulu didiami oleh orang-orang dari bangsa Berber, sampai pada pendudukan bangsa Arab dan terjadi asimilasi dari kedua bangsa tersebut. Kebudayaan Arab ini dapat berkembang pesat dikarenakan orang-orang Arab yang menamkan pengaruhnya dengan membentuk suatu kasta penguasa yang berasal dari keturunan-keturuna orang Arab dan wanita –wanita bumiputra. Oleh karena itulah bahasa Arab serta agama Islam lebih meresap dikalangan bangsa-bangsa di Afrika Utara.
Dalam penerapan sitem politik kolonisasinya pemerintah Perancis mencoba untuk menyisihkan penduduk bumiputra yang beragama Islam dari jabatan-jabatan tingkat menengah dan atas. Akibatnya adalah dengan terlihatnya perbedaan yang mencolok dalam lapisan masyarakat, orang asing yang beragama nasrani , memiliki hak dan dapat hidup mewah sementara orang muslim atau orang yang ditaklukan hidup dalam kemiskinan dan tidak mempunyai hak. Daerah Maghreb yang pertama kali diduduki oleh Perancis adalah Aljazair pada tahun 1830. Pada mulanya daerah ini hanya meliput daerah sepanjang pantai saja, tetapi berkembang hingga ke selatan. Pemerintahan awal daerah ini pertama kali dikendalikan oleh seorang Gubenur Jendral, biarpun ketika beralihnya kekuasaan di negeri induk juga mendorong sistem pemerintahan tetapi pada akhirnya kekuasaan daerah ini tetap dipegang oleh seorang Gubenur Jendral dengan tambahan kekuasaan militer.
Tahun 1870 pemerintah pusat di Paris mengeluarkan sebuah undang-undang tentang pemberian kewaraga negaraan bagi kaum minoritas Yahudi di Aljazair. Undang-undang ini sangat mendeskritkan bagi kaum mayoritas di daerah itu yaitu kaum Islam. Karena didalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa orang Islam yang ingin mempunyai hak yang sama harus rela melepaskan syariat-syariat Islam. Pada masa selanjutnya pemerintah Perancis mencoba untuk merayu para elitis Islam masuk menjadi warga negara negaranya, tetapi para kaum elitis Islam ini tetap menolak. Diwilayah Aljazair sendiri terdapat tiga macam tipe daerah, yaitu Full Power Communes, Mixed Communes, dan Native Communes. Tipe daerah tersebut juga mencirikan suatu stratifikasi sosial yang ada di dalam daerah ini, pada tipe daerah pertama merupakan daerah yang mengikuti sistem Perancis dan pemerintah mengatur untuk kepentingan bangsa Eropa. Pada tipe kedua adalah daerah perpaduan antara bangsa Eropa dengan kaum Muslim. Sementara tipe yang terakhir adallah daerah Islam yang dipimpin oleh orang Islam dan memerintah daerah Islam. Pada pemerintahannya dipegang oleh Gubenur Jendral dengan bantuan dewan konsultatif. Angita dewan yang terdiri dari 15 orang dan Superior Council dengan 60 orang.  Sesudah tahun 1946 keanggotaan didewan ini dipertambah dengan 30 orang dan jumlah senator yang menjadi 14 orang, pada tahun ini pula orang muslim dapat masuk kedalam struktur pemerintahan dewan. Didalam bidang pendidikan pemerintah mencoba memperluas sekolah-sekolah untuk anak-anak Eropa dan juga para bumiputra. Tetapi sebelum tahun 1930-an orang-oang muslim hanya sedikit yang mengirimkan anaknya ke sekolah-sekolah itu. Pada umumnya para orang tua muslim tersebut mengirimkan anak-anaknya ke madrasah-madrasah yang notabennnya mengajarkan kebudayaan Arab, maka tak ayal banyak penduduk asli atau bumi putra di Aljazair yang buta huruf. hanya sedikit dari masyarakat bumiputra yang sanggup menyelesaikan pendidikannya setingkat universitas, dan mereka ini yang nantinya akan menjadi golongan elitis dari kaum pribumi. Golongan elit ini dibesarkan dalam pendidikan barat dan Perancis yang nantinya akan menjadi motor penggerak dalam partai-partai politik, dengan tuntutan untuk pembaharuan pemerintahan serta bertujuan untuk memperbaiki nasib rakyatnya. Para golongan elit ini berpendapat bahwa apa yang dilakukan pemerintahan Perancis tidak serta merta memperbaiki persoalan Plural Societies. Kesenjangan ekonomi dan juga sosial tetap merajalela. Mereka yang berjuang gigih untuk kemerdekaan Aljazair antara lain seperti Ferhat Abbas, Messali Hadj, Ben Bella, dan Belkasim Karim.
Selain Aljazair terdapat dua daerah Perancis lainnya yang berada di Afrika Barat-Laut, daerah itu adalah Maroko dan Tunisia. Kedua daerah tersebut merupakan Prektoktariat yang berbeda dengan Aljazair yang merupakan suatu Propinsi Metropolitan Perancis. Tetapi kesamaan terdapat dalam penerapan para kolonial didaerah tersebut, salah satunya dalam hal pembagian tanah dan penanaman modal. Maroko yang terletak didaerah strategis antara Laut Tengah da Samudra Atlantik dikuasai oleh Perancis setelah diadakannya perjanjian Fez pada tahun 1912. Perjanjian tersebut mengikat Maroko untuk menjadi suatu daerah Prektaktoriat Perancis, dalam perjajian tersebut Sultan Maroko masih tetap menjadi kepala negara walaupun hanya berupa lambang saja. Pemerintahan dipegang oleh keresidenan  Jendral Perancis atas nama pemerintahan Perancis. Sama seperti daerah jajahan lainnya politik asimilisasi Perancis tetap dilakukan, tetapi tidak mudah bagi daerah-daerah yang mayoritasnya beragama muslim itu untuk melepaskan kebudayaan dan agamanya yang telah lama mereka anut. Hal itu pula yang menjadikan masyarakat muslim Maroko tidak tertarik dengan pendidikan model barat. Dalam hal perekonomian Maroko mempunyai daerah yang subur dan juga kekayaan alam yang berlimpah. Tidak hanya itu hasil-hasil tambang dari daerah tersebut juga menguntukan bagi para kaum kolonis di Maroko itu sendiri.

BAB III
PENUTUP
3.1   Kesimpulan
Benua Afrika merupakan benua yang asing bagi bangsa Barat, maka semenjak kedatangan para pedagang yang sekaligus sebagai penjelajah dunia. Maka benua Afrika mulai terkenal oleh bangsa Barat. Banyak bangsa Barat yang berusaha untuk menguasai benua Afrika. Hal itu terjadi karena kekayaan alam benua Afrika yang sangat kaya dan sumber daya manusia untuk keperluan perang pada saat itu.
Daerah- daerah koloni Prancis mengadopsi doktrin “asimilasi”. Doktrin asimilasi yaitu orang- orang Afrika dapat dijadikan orang Prancis. Tujuan politik asimilasi tersebut adalah mengintegrasi daerah milik di seberang lautan dengan Prancis; mengasimilasi penduduk koloni dalam kerangka prancis baik politik, sosial, ekonomi, etnis, religius maupun kultural. Maka untuk mencapai tujuan tersebut bahasa- bahasa dan kebudayaan Afrika tidak dimasukkan dalam pendidikan kolonial Prancis.  Tetapi doktrin asimilasi tidak dapat diterima sepenuhnya oleh koloni- koloni Prancis. Ada beberapa wilayah yang tidak dapat menerima doktrim asimilasi karena tingkat pendidikan yang rendah.
Di Afrika, daerah koloni Perancis terbagi menjadi dua yaitu Afrika “Hitam” dan juga Afrika “Arab”. Afrika Hitam Perancis ini seperti Afrika Barat yang meliputi daerah Senegal dan Pantai Gading, Afrika Equatorial, Somalia Perancis, Madagaskar, dan juga Togo. Sementara untuk daerah Arab Afrika, Kekuasaan Perancis meliputi daerah Maroko, Aljazair, serta Tunisia.


 

Daftar Pustaka
Soeratman, Darsiti. 2012. Sejarah Afrika. Yogyakarta: Penerbit Ombak       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar