BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Sekitar tahun 1875 bangsa Barat
sudah mulai masuk ke benua Afrika. Awalnya benua Afrika merupakan Negara asing
tetapi semenjak awal para penjelajah mengelilingi dunia maka Afrika mulai
menjadi daya tarik tersendiri terlebih lagi Benua Afrika memiliki sumber daya
alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang dapat dimanfaatkan untuk
keperluan Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Awalnya Negara Jerman lah yang
berhasil menduduki benua Afrika. Tetapi berkat kegigihan Prancis dan Inggris
berhasil menaklukkan beberapa kawasan di Afrika, sehingga mereka bersepakat
untuk mengambil keputusan bahwa Negara yang awalnya menjadi koloni Jerman maka
diambil alih oleh mereka.
Koloni- koloni yang dikuasai
oleh Prancis mengambil doktrin “asimilasi”. Tetapi tidak semua daerah koloni-
koloni Prancis mampu menerapkan doktrin tersebut karena tingkat pendidikan tiap
wilayah yang berbeda- beda.
1.2
Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana
bangsa Barat di Afrika ?
b.
Bagaiman
kedudukan Prancis di Afrika ?
1.3
Tujuan
Penulisan
a.
Untuk
mengetahui bangsa Barat di Afrika.
b.
Untuk
mengetahui kedudukan Prancis di Afrika.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kekuasaan
Bangsa Barat di Afrika
a. Afrika
pada tahun 1875-1914
Pada sekitar 1875
barulah 10,8% dari daerah Afrika di bawah kekuasaan atau pengaruh bangsa Barat.
Pada waktu itu di daerah Afrika seluas 1.250.000 mil persegi adalah milik
Spanyol, Portugal, Perancis dan Inggris. Dengan mengikut sertakan Afrika di
bagian selatan yang seluas 250.000 mil persegi, Inggris memiliki daerah
terbesar di Afrika. Kekuasaan Prancis hanya terbatas di pantai sebelah Utara,
pos-pos terasing di Senegal dan pantai Guiner, seluruhnya diperkirakan meliputi
170.000 mil persegi. Daerah milik Portugal terutama terdapat di sepanjang
pantai Angola dan Mozabique, sedangkan milik Sepanyol terletak di Afrika Barat
laut seluas kira-kira 1000 unit persegi. Di samping kekuasaan bangsa Barat
tersebut di atas, terdapat pula kekuasaan Turki di pantai utara. Akan tetapi
kekuasaan turki ini hanya terbatas di Tripoli, sedangkan di Mesir dan Sudan,
seperti halnya Maroko dan Tunisia secara praktis kekuasaan Turki tersebut sudah
tidak ada. Sebagian besar daerah Sahara meliputi daerah seluas 40.000.000
sampai 50.000.000 mil persegi berada di bawah kekuasaan Islam dan daerah di
sepanjang pantai timurdi kuasai oleh Sultan Zanzibar. Di luar daerah- daerah
tersebut di atas di dalam oleh penduduk bumiputera yang hidup terasing dari
dunia luar. Hanya di Sudan dan Afrika Timur terdapat pemerintahan Bumi Putra
yang telah teratur baik.
Perhatian bangsa Barat terhadap Afrika menjadi bertambah besar sesudah
rahasia kekayaan alam benua “Gelap” itu di buka oleh penjelajah- penjelajah
terkemuka, di antaranya D. Livingstone dan H.M. Stanley. Penjelajahan daerah
pedalaman makin di pergiat sesudah di bentuk lembaga “International Assosiation
for the Exploration and Civilization of Central Afrika” 1876 atas intensif
Leoparld II Raja Belgia. Pada 1878 didirikan “Committee for the Study of the
Upper Congo” dan pada tahun1882 didirikan “Association International du Congo”,
keduanya merupakan cabang-cabang dari International Assosiation tersebut di
atas. Terbitlah buku-buku Missionary
Travels in South Afrika 1885, the
Zambies and its Tributaries 1865, berisi kumpulan pengalaman penjelajah D.
Livingston dan Through the Dark Continent 1878, the Congo 1885 oleh H.M. Stanley mengakibatkan makin banyak
bangsa-bangsa barat yang tertarik dengan Benua Afrika. Bangsa Barat merebutkan
daerah-daerah ke Afrika yang mengadung komersil yang besar, penting untuk
memenuhi kebutuhan industri dan memiliki penduduk yang dapat dipakai untuk
kepentingan perang, mempunyai letak yang penting untuk strategi perang, di
samping dapat pula dipakai sebagai tempat pemerintahan penduduk.
Para pedagang dan
jejajah memegang peranan yang sangat penting. Pada masa imperalisme modern itu
seakan-akan muncul kembali ke perserikatan-perserikatan dagang yang mendapatkan
hak-hak kenegaraan seperti EIC dan VOC pada abad yang lain. Chartered Companies
tersebut dapat membuat perjanjian-perjanjian baik bersifat ekonomis maupun
politis dengan kepala-kepala suku bumiputera. Dengan demikian kongsi-kongsi itu
memiliki tanah- tanah kolonial yang makin lama makin memperluas. Menurut J.A.
Hobson, masa antara 1885, dan 1900 adalah masa ekspensi yang paling kuat bagi
Negara-negara besar di Eropa. Pada masa-masa itu seakan-akan Eropa Barat
memegang Hegemoni di Dunia. Kongres
Berlin II 1885 adalah sidang yang pertama- tama merundingkan soal Afrika di
antara Negara-negara barat. Yang hadir pada kongres tersebut adalah semua
Negara Eropa, selain Swiss dan Negara- negara Balkan, di tambah Amerika
Serikat. Kongres pemutusan nasib Congo pelayaran di sungai Niger dan sekitar
masa perbudakan.
b. Afrika
pada masa Perang Dunia I dan masa Sesudahnya.
Ketika di Eropa terjadi Perang Dunia I 1914-1918, Inggris dan sekutunya
berusaha merebut kekuasaan Jerman di Afrika. Oleh sebab itu maka Inggris
bersama Belgia dan Perancis di bantu oleh Uni Afrika Selatan menyerbu kolonial-
kolonial Jerman dan mengusir kekuasaan lawan tersebut. Dalam waktu singkat Togo
dapat direbut oleh gabungan tentara Inggris dan Perancis. Angkatan perang Uni
Afrika selatan di bawah pimpinan Jendral Smuts bersama tentara Belgia membantu
perjuangan Inggris melawan kekuatan Jerman di Afrika Timur. Sementara itu
angkatan perang Uni Afrika selatan di bawah Jendral Botha berhasil menduduki
daerah Afrika Barat Daya Jerman. Di Afrika Barat, tentara Inggris Prancis berhasil
mengusir kekuasaan Jerman dari Kamerun. Dapat dimengerti bahwa pertahanan
Jerman akhirnya patah disebabkan karena hubungan dengan negri induk telah di
putus, sehingga kebutuhan akan perlekapan perang dan tambahan tentara tidak
dapat di penuhi.
Pada awal 1916, ketika hasil perang belum dapat di pastikan, Inggris dan
Prancis telah bersepakat untuk membagi bekas kolonil Jerman di Afrika. Di dalam
perjanjian perdamaian diputuskan bahwa Negara Jerman harus melepaskan koloni
yang di milikinya. Akan tetapi bekas koloni Jerman tersebut tidak di
aneksasikan atau di gabungkan kepada Negara-negara koloni pemegang perang. Maka
konferensi perdamaian tersebut berusaha mendapatkan suatu sistem baru untuk
diterapkan kepada bekas koloni Jerman. Dalam usaha menemukan pola baru ini,
jendaral Smuts merupakan bapak apa yang dari kemudian di sebut system mandate. Istilah “perwakilan”
atau “mandat” mengandung isi tanggung jawab bangsa-bangsa yang telah maju atau
pembanguan dan kemakmuran penduduk yang masih terbelakang.
Pada 1919, panitia yang telah di tunjuk untuk merencanakan semuah daerah
mandate (selain untuk asia barat) bersidang di London. Sesudah mengalami
perbincangan yang lama pada akhir 1920 di capai persetujuan Afrika Barat Daya. Bekas
Koloni Jerman ini, karena bekas di duduki oleh Uni Afrika Selatan pada masa
Perang Dunia I, maka Uni Afrika Selatan di tunjuk untuk mandatarisnya. Kemudian
pada pertengahan 1922 di peroleh ketentuan untuk daerah mandate lainnya Inggris
di tunjuk mandataris untuk Afrika Timur Jerman, yang kemudian di sebut Tangayika,
sedangkan Belgia yang semula termasuk daerah Afrika Timur Jerman. Dengan ini
Rwanda-Burudi yang dulu di rebut oleh jerman dari tangan Belgia, di kembalikan
kepada Belgia. Di sebelah barat, Togo dan Kamerun menjadi daerah mandate
Inggris dan Perancis. Semuah darah mandate tersebut di atas termasuk
klasifikasi B, selain Afrika Barat yang termasuk klasifikasi C, di sebabkan
karena penduduk yang masih terbelakang.
Adapun tugas dan kewajiban mandataris adalah membuat laporan tahunan
mengenai administrasi tahunan mengenai administrasi pemerintahan di daerah
mandate dan harus mempertanggung jawabkan
perkembangan daerah mandate kepada permanen Mandates Commision, sebuah
panitia dari lembaga bangsa-bangsa.
c. Afrika
Pada Masa Perang Dunia II dan masa sesudahnya
Pada masa berkobarnya Perang Dunia II 1939-1945, benua Afrika di
pergunakan untuk kepentingan strategi perang dan ekonomi. Kepentingan strategi
perang itu terutama di sebabkan sesudah Italia bergabung pada poros AS yang
memungkinkan garis hidup Inggris dan Perancis dari laut Tengah ke Timur tengah
terancam. Juga karena perancis jatuh dan di duduki oleh Nazi Jerman,
menyebabkan koloni Perancis di Afrika Utara dan sebelah selatan Sahara tidak
dapat memberikan sumbangan kepada pihak sekutu. Instalansi-instalansi militer
yang vital bersama dengan pangkalan- pangkalan udara di kuasai oleh pemerintah
Prancis Vichy. Akibatnya pangkalan udara Inggris di Afrika Utara menduduki
tempat yang amat penting dalam rute komunikasi di benua Afrika.
Afrika penting untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, lebih-lebih sudah
sebagai besar daerah-daerah koloni Negara-negara demokrasi jatuh ke tangan
fasis Jepang yang menyebabkan pihak sekutu kehilangan sumber-sumber bahan
mentah tropis pada mineral yang sangat berharga. Dalam keadaan ini, Amerika
Serikat dan kawan-kawan sangat tergantung kepada bahan mineral dan bahan mentah
dari Afrika.
Sesudah perang selesai, daerah-daerah mandate di jadikan trust di bawah pengawasan
Perserikatan Bangsa- Bangsa. Perubahan ini di adakan kenyataan parlement Mandates
Commission yang setiap tahunnya bersidang di Geneva untuk memperbincangkan
masalah mandate tidak mempunyai hak untuk mengatur daerah mandate. Commission
berfungsi hanya untuk menjadi penasehat, tidak hanya mempunyai hak penelidikan
ke daerah mandate, dan tidak dapat memanggil saksi-sakis yang di perlukan. Daerah-daerah
trus dapat secara langsung menyampaikan petisi kepada Trusteeship Council atau
seseorang perorangan dapat mengirimkan petisan. Apabila perorangan memerlukan
pemeriksaan daerah trus, maka council memberikan laporan tahunan kepada Sidang
Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa. Perubahan citra ekonomi di Negara induk juga
membawa pengaruh kepada perkembangan politik kolonial. Demikian pula situasi
politik kolonial-kolonial sering mendesak agar polotik kolonial diubah. Bagi
inggris politik ekspolitasi tanah jajahan di ganti dengan “trusteeship” atau
“partnership”.
2.2 AFRIKA
PERANCIS
a. Koloni
Prancis di Afrika
Sebagian besar daerah Kolonial Prancis tersebut di atas terletak di
Afrika Barat laut, Afrika Barat dan Afrika Equatorial. Ketiga wilayah yang luas
itu berhubungan satu dengan yang lainnya, terbentang diantara pantai Laut
Tengah bagian barat hingga Teluk Guinea, disela beberapa daerah milik
Spanyol, Portugal dan Inggris. Perbedaan
iklim dan tingkat peradaban serta kebudayaan, maka perkembangan di kolonial
Prancis di Afrika pantai Laut Tengah atau Afrika Arab berbeda dengan kolonial-
kolonial di sebelah selatan Sahara. Masalah kolonis- kolonis Prancis yang
mendesak keadaan sosial ekonomi penduduk bumiputra di Tunis, Aljazair dan
Maroko tidak pernah ada di Afrika Hitam Prancis. Daerah milik Prancis di Afrika
Timur sangat terbatas. Satu- satunya yang terletak di benua adalah tanah Somali
dengan Kota Djibouti. Tetapi justru karena memiliki Djibouti, Prancis ingin
memperluas wilayahnya dari Afrika Barat hingga Afrika Timur atau dari Dakar ke
Djibouti. Prancis ingin membentuk imperium dari Samudra Atlantik ke Samudra Hindia.
Krisis Fashoda 1898 mengakibatkan cita- cita tersebut tidak dapat terwujud.
Daerah lain di Afrika Timur berupa pulau- pulau; yang terbesar adalah Pulau
Madagaskar yang berukuran lebih luas luas daripada Prancis. Penduduknya
walaupun terdiri atas orang- orang campuran bangsa Arab dan Negroid namun ciri-
ciri Polinesia dan Melanesia Nampak lebih banyak. Pada tahun 1896 Pulau
Madagaskar dianeksasi oleh Prancis, sesudah terjadi persaingan dengan
misionaris- misionaris Inggris yang bekerja di pulau Madagaskar. Penghidupan
penduduk pada umumnya dari pertanian seperti kopi, tebu, padi, panili, dan
cengkeh yang hasilnya sebagian besar di ekspor ke luar negeri. Pulau Reunion
diketemukan oleh orang- orang Portugis pada tahun 1528, tetapi sejak abad ke-17
menjadi milik Prancis. Berdasarkan konstitusi Prancis 1946 Reunion dijadikan
Departemen di seberang lautan dan kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang
Prefect yang ditujuk oleh Menteri Dalam Negeri Prancis. Kepulauan Comoro yang
sebagian penduduknya terdiri atas orang Arab dan beragama Islam, sebagian lagi
orang Afrika, Madagaskar, dan Asia. Kepulauan tersebut pada tahun 1912-1946
diperindah bersama dengan Madagaskar. Dan berstatus daerah otonomi Prancis
dengan seorang High Commissioner yang bertugas sebagai wakil Pemerintah Prancis
memegang kekuasaan dan bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan pulau-
pulau tersebut.
b. Politik
Kolonial Prancis di Afrika
Sebelum Perang Dunia II, politik Prancis pada daerah koloni- koloninya
mengambil sebuah doktrin “ Asimilasi “. Teori ini beranggapan bahwa orang-
orang Afrika dapat dijadikan orang Prancis. Prinsip tersebut mengandung gagasan
yang tercetus pada zaman Revolusi yaitu “equality” dan “fraternity” yang
mengandung filsafat politik yang kemudian dianut oleh Imperium Prancis yang
disebut “Paternalisme”. Tujuan politik asimilasi tersebut adalah mengintegrasi
daerah milik di seberang lautan dengan Prancis; mengasimilasi penduduk koloni
dalam kerangka prancis baik politik, sosial, ekonomi, etnis, religius maupun
kultural. Maka untuk mencapai tujuan tersebut bahasa- bahasa dan kebudayaan
Afrika tidak dimasukkan dalam pendidikan kolonial Prancis.
Cita- cita membentuk bloc francais berarti politik kolonial Prancis
tidak pernah memiliki suatu program untuk memajukan koloni menuju ke arah
pemerintahan sendiri. Sistem pemerintah Prancis yang disebut “direct rule”
sesungguhnya adalah pemerintahan oleh pegawai- pegawai dari pemerintahan
metropolitan atau berdasarkan kepentingan- kepentingan metropolitan. Dan dalam
pemerintahan tersebut, tiap wilayah konial ikut mengambil bagian. Untuk
mengasimilasi penduduknya maka tiap koloni harus muncul kelompok- kelompok yang
berpendidikan. Maka diperlukan keadaan yang tenang, diberi kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan yang baik tetapi terbatas, diselenggarakan pekerjaan
umum dan dimasukkan ke dalam kekuataan ekonomi baru. Tetapi hasil yang didapat
tiap koloni tidaklah sama. Bahkan ada koloni yang tidak dapat dikenakan politik
asimilasi karena tingkat kemajuan penduduknya rendah. Maka politik asimilasi
dengan politik asosiasi untuk koloni dengan kemajuan yang rendah. Politik
asosiasi yaitu memberikan pendidikan bagi sebagian kecil penduduk bumiputera (golongan
elit) dan diajak untuk bekerjasama dengan pegawai- pegawai Prancis untuk
membawa kultur Barat kepada penduduk yang lain.
Selain bidang struktur pemerintahan yang dikuasai oleh Prancis, bidang
ekonomi juga. Di bidang ekonomi yaitu perkembangan industri tidak didorong,
pengaturan bea cukai mengakibatkan koloni terkena sistem monopoli serta eksploitasi
dijalankan di daerah kolonial. Saat Perang Dunia II, Prancis diduduki oleh
Jerman. Maka ada dua kepemimpinan yaitu Prancis Vichy yang bekerjasama dengan
pemerintahan Nazi Jerman, dan pemerintahan De Gaulle yang berada di Inggris.
Dan pada tahun 1943, pemerintahan Prancis Vichy di usir dari Afrika, maka
daerah kolonial dipegang oleh French Committee of National Liberation.
Sedangkan seorang pemimpin di Afrika yang bernama Eboue memihak pada
pemerintahan De Gaulle. Kemudian mempunyai insiatif untuk mengadakan konferensi
di Brazzaville (1944). Konferensi Brazzaville 1944 mengambil keputusan mencakup
tiga bidang yaitu :
·
Organisasi
Politik
Organisasi Politik
Kolonial Prancis
1.
Diharapkan
daerah koloni- koloni mempunyai wakil di dalam Assembly yang akan dibentuk dan
bertugas membuat rencana konstitusi baru bagi Prancis.
2.
Sangat
diperlukan adanya wakil- wakil koloni dalam pemerintahan pusat di Prancis
Metropolitan, agar pemerintahan menjadi lebih lengkap dan lebih teratur
daripada masa sebelumnya.
3.
Setiap
proyek pembaharuan yang ditujukan untuk memperbaiki sistem perwakilan yang
dibuat pada 1939 atau mempertimbangkan menambah jumlah wakil- wakil koloni
untuk Majelis Tinggi dan Majelis Rendah Parlemen Prancis adalah tidak sesuai
lagi.
4.
Hendaknya
dibentuk suatu badan baru yang disebut Colonial Parlement atau lebih tepat
disebut Federal Assembly yang adapat memenuhi cita- cita: menjamin French
Federation ialah kesatuan Prancis dan koloni- koloninya yang tidak dapat
dipisahkan.
5.
Penguasa
legislatif di koloni- koloni dalam melaksanakan tugasnya harus menyesuaikan
diri dengan keputusan- keputusan yang diambil oleh kekuasaan sentral atau badan
federasi dan juga dari berbagai daerah.
Organisasi Politik di Kolonial
Lembaga- lembaga konsultatif dihapuskan dan diganti dengan lembaga- lembaga politik yang lebih berguna dalam memperlengkapi kepentingan administrasi di koloni. Pergantian lembaga- lembaga konsultasi antara lain :
Organisasi Politik di Kolonial
Lembaga- lembaga konsultatif dihapuskan dan diganti dengan lembaga- lembaga politik yang lebih berguna dalam memperlengkapi kepentingan administrasi di koloni. Pergantian lembaga- lembaga konsultasi antara lain :
1.
Councils
of subdivision dan Regional Councils beranggotakan bangsawan- bangsawan
bumiputera dan jika mungkin dilengkapi dengan lembaga- lembaga tradisional yang
ada.
2.
Dewan-
dewan Perwakilan yang anggotanya sebagian terdiri atas orang- orang Eropa dan
sebagian lainnya penduduk bumiputera. Anggota- anggota lembaga- lembaga tersebut harus dipilih melalui pemilihan
umum, dimanapun dan bilamanapun peraturan tersebut dapat dijalankan.
·
Masalah-
masalah Sosial
Beberapa pokok-pokok yang perlu diperhatikan :
1.
Syarat
mutlak untuk memajukan benua Afrika adalah memajukan penduduk bumiputera.
2.
Kemajuan
benua Afrika tidak dapat dicapai tanpa kerjasama dengan orang- orang non Afrika
dan usaha- usaha non Afrika yang jumlahnya amat besar.
3.
Berbagai
macam perdagangan secara berangsur- angsur harus beralih ke tangan penduduk
bumiputera.
4.
Pendidikan
bagi bumiputera diarahkan agar dapat memenuhi kebutuhan kantor- kantor umum.
5.
Kebutuhan
akan tenaga administrasi dalam jumlah besar tidak dapat dielakkan.
·
Masalah-
masalah Ekonomi
Tujuan politik ekonomi kolonial adalah untuk memajukan produksi dan membawa kemakmuran bagi penduduk di seberang lautan. Caranya dengan menaikkan standar hidup penduduk. Pemerintah menganjurkan adanya industrialisasi di tanah- tanah koloni dan kerja penelitian untuk memperbaiki kwalitet pertanian atau hasil lainnya.
Tujuan politik ekonomi kolonial adalah untuk memajukan produksi dan membawa kemakmuran bagi penduduk di seberang lautan. Caranya dengan menaikkan standar hidup penduduk. Pemerintah menganjurkan adanya industrialisasi di tanah- tanah koloni dan kerja penelitian untuk memperbaiki kwalitet pertanian atau hasil lainnya.
Struktur politik baru dinyatakan bahwa Prancis bersatu dengan koloni- koloninya dalam suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pelaksanaan program memajukan ekonomi membutuhkan modal yang besar. Oleh sebab itu, dibentuk suatu lembaga seperti Colonial Development and Welfare Fund milik Inggris yang disebut The Investment Fund for Economic and Social Development (Fides) dan Caisse Centrale. Sejak 1945 Prancis menanamkan modalnya 3/4 billiun dolar di Afrika Barat dan Equatorial. Untuk pembiayaan proyek- proyek, pemerintah daerah memikul 55% dan pemerintah kolonial 45%. Daerah milik Prancis hamper tidak mengenal diskriminasi ras. Perkawian campuran antara orang Prancis dan penduduk bumiputera dari golongan elite sering dilakukan. Banyak orang Prancis melakukan emigrasi ke Afrika.
c. Pelaksanaan
Politik Kolonial Perancis di Afrika
Di Afrika, daerah koloni Perancis terbagi menjadi
dua yaitu Afrika “Hitam” dan juga Afrika “Arab”. Afrika Hitam Perancis ini
seperti Afrika Barat yang meliputi daerah Senegal dan Pantai Gading, Afrika
Equatorial, Somalia Perancis, Madagaskar, dan juga Togo. Sementara untuk daerah
Arab Afrika, Kekuasaan Perancis meliputi daerah Maroko, Aljazair, serta
Tunisia.
Afrika Barat
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, penerapan
politik Perancis atas koloninya di Afrika adalah dengan menerapkan suatu
politik asimilasi, dimana dalam penerapannya di negeri jajahannya tidak seperti
membalikan tapak tangan. Hanya beberapa negara koloni saja yang dapat menerima
sistem politik tersebut, salah satunya adalah didaerah Afrika Barat Perancis khususnya
di negara Senegal dan Pantai Gading. Senegal yang merupakan koloni tertua
Perancis di Afrika, sehingga hubungan erat yang terjalin dengan Perancis
sangatlah erat dan itu juga yang menjadikan Senegal dapat berhubungan dengan Eropa. Hubungan yang erat ini juga
mempengaruhi perkembangan kultur Perancis di negara Senegal itu sendiri. Dalam
hal pendidikan Senegal menduduki tingkat yang tinggi, ini dikarenakan jasa
pemerintah Perancis dan juga perhatian yang besar kepada negara ini.
Sekolah-sekolah menengah yang dibangun oleh pemerintah menghasilkan
intelektual-intelektual “Senegalaise”
yang berpendidikan. Selain itu juga dibangun sekolah-sekolah teknik, sekolah
sastra, sekolah dasar, dan juga sekolah yang didirikan oleh para misionaris,
selain itu dibangun pula universitas di daerah Dakar dengan nama Institute Francais d’Afrique Noire yang
merupakan universsitas pertama di daerah Afrika Barat Perancis. Beberapa tokoh
terkemuka lahir Senegal lahir dari hasil pendidikan yang diberikan pemerintah
Perancis atas Senegal, seperti Leopold Senghor seoerang sastrawan yang terkenal
sampai Eropa dan penggagasan gerakan Negritude
gerakan yang mencoba untuk membendung kultur Perancis yang terus berkembang
agar kultur asli Afrika di Senegal dapat dipertahankan. Selain Senghor ada pula
Mamadou Dia, seorang ekonom yang nantinya akan menjadi Perdana Mentri pertama
Senegal, lalu Lamine Guaye seorang walikota Senegal, dan M. Blaise Diagne
seorang politikus, serta yang lainnya.
Tahun 1920 sampai 1925 dilakukan re-organisasi di Senegal
yang mana pembagian wilayah administrasi. St. Louise, kota yang didirikan tahun
1659 dijadikan sebagai ibu kota dan juga pusat budaya, sementara daerah Dakar
dijadikan sebagai tempat pangkalan militer. Dalam perkembangannya wilayah kota
Dakar-lah yang berkedudukan lebih menonjol, ini dikarenakan wilayah Dakar yang
merupakan kota pelabuhan yang letaknya sangat startegis untuk penyinggahan
banyak kapal. Selain itu wilayah kota Dakar juga juga meliputi daerah kecil
berupa Pulau Goree yang pada tahun 1860-an bandar-bandar yang ada dipulau itu
diperbaiki dalam rangka memenuhi persyaratan pelayaran. Dengan kesibukan
perdagangan itulah maka kota Dakar menyerupai kota pelabuhan di Perancis
seperti Marseille dan Le Havre. Efek dari menonjolnya kota Dakar ini adalah
dengan dijadikannya kota ini sebagai ibu kota Federasi Afrika Barat Perancis
dari tahun 1904-1959. Walaupun pada kenyataannya wilayah Senegal merupakan
wilayah miskin jika dibandingkan dengan Pantai Gading, tetapi pemerintah
Perancis tetap memberikan perhatian yang besar kepada wilayah ini, sehingga
wilayah ini dapat maju dengan pesat, baik dalam bidang pendidikan, politik,
maupun kesejahteraan. Lebih-lebih penunjukan kota Dakar sebagai ibu kota
federasi, tidak sedikit bantuan yang dikeluarkan oleh pemerintah Perancis untuk
membangun kotanya tersebut. Pembangunan sarana transportasi dipergiat, sampai
pada akhirnya terhubunglah jalur kereta api Dakar-St. Louise pada tahun 1885,
menyusul ada tahun 1924 rute Dakar-Sungai Niger. Selain sarana transportasi,
industri-industri didaerah ini juga digalakan pembangunannya, serta pembangunan
bendungan Sungai Senegal dalam upaya untuk memajukan kepentingan ekonomi,
transportassi, juga pertanian wilayah tersebut. Dalam bidang politik juga
pemerintah Perancis menaruh hati kepada wilayah Senegal. Pada tahun 1848
pemerintah Perancis sudah mencanangkan bahwa untuk daerah koloni berhak untuk
memilih wakil-wakilnya National Assembly, dan Senegal juga diberi hak untuk
mengatur kotanya setingkat kotapraja. Hak semacam itu tidak pernah diperluas
oleh Perancis kedalam negara-negara Afrika Barat dan Afrika Equatorial-nya.
Wakil-wakil Afrika juga baru muncul selepas tahun 1914.
Tetapi setelah Perang Dunia II angin besar
perubahan dalam bidang politik kolonial Perancis dapat dirasakan oleh
negara-negara koloni lainnya. Setelah perang usai utusan-utusan negara koloni
Perancis dari Afrika berada di Paris untuk ikut serta dalam sidang Consituente
Assembly bersamaan dengan orang-orang Perancis. Peristiwa inilah yang dijadikan
kesempatan bagi koloni-koloni Afrika Perancis untuk memiliki wakil di Parlemen
Perancis, sebelumnya hanya Senegal saja
yang diberikan hak semacam itu. Dalam sidang tersebut pada Maret 1946,
wakil-wakil Afrika memusatkan pokok tuntutan kepada persamaan hak kewarganegaraan.
Mereka menekankan perlunya penghapusan buruh paksaan, peringanan pajak,
pembuatan aturan mengenai hak milik tanah, sistem sewa menyewa, dan yang
terakhir pengankatan standar hidup penduduk Afrika. Tuntutan-tuntutan itu
bertujuan agar konstitusi yang dihasilkan yang dapat memberikan hak kepada
mereka semua agar dapat mengurus masalah-masalah mereka sendiri dengan suatu
hubungan semi-federal dengan Paris. Tetapi tuntutan tersebut mendapatkan
penolakan dari wakil Perancis. Penolakan tersebut mengakibatkan bagi
menyebarnya pengaruh solidaritas dan perasaan sama penderitaan di wilayah
Afrika Perancis. Karenanya dengan ketakutan bahwa gerakan ini akan membawa
kepada reaksi yang ditimbulkan pada masa depan, pada Oktober 1946 dicanangkan
sebuah pembentukan French Union. Dalam French Union ini wilayah atau daerah
yang tergabung didalamnya dapat mempunyai wakil didalam dewan-dewan parlemen
Perancis, seperti di National Assembly, Senate, dan juga Assembly of the Union. Disamping ada pembentukan dewan
perwakilan untuk teritorial dan regional. Tetapi dengan adanya sistem politik
seperti itu bukan berarti daerah koloni tersebut memiliki pemerintahan sendiri,
dewan legislatif tertinggi masih dipegang oleh Parlemen Perancis begitu juga
dengan Gubenur dan unit-unit dibawahnya. Hanya saja dalam pengawasan anggaran
lokal kekuasaan tersebut dapat dipegang oleh dewan perwakilan. Sehingga maksud
hati ingin membentuk pemerintahan sendiri tetapi pada kenyataannya dewan
perwakilan tersebut adalah agen yang ikut serta dalam sistem pemerintahan
Perancis dan keinginan dalam pembentukan federasi berubah dengan pembentukan
suatu “Uni”.
Di lain pihak ada sisi keuntungan yang diambil oleh
para wakil daerah Afrika Perancis dalam sistem pemerintahan seperti itu, karena
dengan leluasa mereka dapat belajar tentang kesadaran berpolitik. Dengan adanya
wakil-wakil tersebut mereka dapat lebih leluasa untuk mengkritik pemerintahan
dalam upayanya untuk membawa perubahan dalam bidang politik, sosial, dan
ekonomi. Dalam sistem pemilihan umum, Perancis membaginya dalam dua bagian;
pemilihan untuk warga negara Perancis dan pemilihan unruk bukan warga negara.
Warga negara Perancis adalah mereka orang Perancis asli dan juga evolue
bumiputra, sedangkan bukan warga negara adalah mereka para penduduk asli
Afrika. Sistem pemilihan dengan dua kelompok inilah yang menjadi perdebatan
hebat oleh para politisi wakil negara Afrika.
Satu lagi daerah di Afrika Barat Perancis yaitu
Pantai Gading. Pantai Gading merupakan wilayah yang kaya dengan hasil-hasil
bumi yang memadai, disamping tanahnya yang termasuk kedalam tanah yang subur.
Tidak heran dengan apa yang sudah disebutkan diatas bahwa daerah Pantai Gading
merupakan wilayah yang makmur dibandingkan dengan Senegal. Bandar Abijan
merupakan bandar terbesar setelah Dakar, dan pemimpinnya adalah Felix Houphouet
Boigny. Bersamaan dengan pemimpin Senegal seperti Senghor dan Gueye, Felix
berjuang dengan kendaraan politik didalam lembaga eksekutif dan legislatif di
Paris. Perjuangannya tentang terciptanya suatu kerja sama antara negara Afrika
bekas daerah Perancis secara individual dengan Replubik Perancis, yang secara
singkatnya adalah pebentukan daerah-daerah otonom yang berjumlah 8 negara yang
masing-masing secara individual berhubungan dengan Paris. Caita-cita Felix ini
berbeda dengan apa yang dicita-citakan oleh Senghor. Senghor sendiri
menginginkan suatu Replubik Federal yang berada dalam French Union. Oleh karena
perbedaan pendapat itu maka Senghor mengusulkan agar Afrika Barat Perancis
dibentuk dua federasi; dengan satu beribu kota Dakar, semntara yang satunya
beribu kota Abijan. Persamaan kedua tokoh pejuang kemerdekaan Afrika Barat
Perancis ini adalah pendapat yang sama tentang kelangsungan hubungan dengan
Perancis merupakan faktor esensial bagi perkembangan dan pembangunan di Afrika.
Dengan masuknya Felix kedalam kabinet Mollet, maka tersusunlah rencana
konstitusi baru mengenai masalah daerah dilaut seberang. Undnga-undang yang
terkenal dengan sebutan loi Cadre
atau “Skeleton Law” tersebut membawa revolusi dalam hubungan antara
Perancis-Afrika. Konstitusi baru tersbut merubah corak sistem kolonialisasi
yang diterapkan oleh Perancis yang dahulu bersifat asimilasi-sentralistik
terpaksa harus dilepaskan, juga konsepsi tentang penduduk Afrika yang
diwajibkan menjadi warga negara Perancis serta pendapat bahwa pemerintahan
kolonial Perancis harus memerintah dari Paris juga harus ditinggalkan. Daerah
di Afrika Perancis dapat mengatur dirinya sendiri, dan harapan tentang
keberlangsungan hubungan dengan Replubik Perancis.
Diluar Senegal dan Pantai Gading, kegiatan di
daerah sekitar Sudan juga mempunyai arti penting. Daerah seperti Sudan, Niger,
dan Mauritinia mempunyai arti penting juga. Daerah-daerah tersebut mempunyai
wilayah yang luas tetapi sebagaian besar merupakan wilayah yang kering dan juga
penduduknya yang sedikit, dan mayoritas penduduknya adalah Muslim. Didaerah
Bamoko ( Sudan ) pernah diselengarakan deklarasi yang ditanda tangani oleh 5
wakil-wakil tokoh Afrika Barat Perancis. Deklarasi itu sendiri menghasilkan
manifesto yang berisikan cara-cara praktis dalam melakukan kordinasi
tugas-tugas politik mereka, manifesto yang mencari cara perjuangan yang sama
dalam memperjuangkan demokrasi politik dan sosial di Afrika. Didalam kongres
deklarasi tersebut juga didirikan partai politik interteritorial yang disebut
Ressemblement Democratique Africain ( R.D.A ). Partai ini mencakup semua
golongan, pekerja, serikat-pekerja, organisasi kultural, dan religius.
Afrika Equatorial
Afrika Equatorial merupakan wilayah koloni Perancis
di Afrika tengah, pada mulanya wilayah ini hanya mencakup daerah Gabon dan
Congo Perancis, tetapi dikarenakan adanya pertentangan pelebaran kekuasaan ke
Timur dan ke Barat oleh kekuasaan Jerman
dan Belgia maka pelebaran kekuasaan Perancis hanya sebatas ke Utara dan Timur
Laut. Sehingga sebuah federasi yang di bentuk oleh Perancis pada tahun 1910 di
Afrika Tengah ini hanya terdiri dari 3 koloni saja, yaitu Gabon, Cingi Tengah,
dan Ubangi Shari-Chad. Pada tahun 1920 Chad menjadi daerah yang berdiri
sendiri, sehingga koloni Perancis didaerah ini menjadi 4 daerah koloni: Gabon
dengan ibu kota Libreville, Congo Tengah dengan Point-Neire, Ubangi Shari
dengan Bangui, dan Chad dengan Port Lami. Tetapi pelaksanaan politik kolonial
Prancis yang berdasarkan teori amisilasi, mengalami kesulitan. Menjelang
pecahnya Perang Dunia II, Afrika Equatorial Prancis dan Congo Belgia banyak
persamaannya. Pemerintah bersama-sama kongsi-kongsi dagang keuntungan besar,
akan tetapi sesudah Perang Dunia II berakhir perkembangan kedua macam kolonial
tersebut sangat berlainan. Anggaran belanja yang disediakan untuk keperluan
koloni di Afrika Equatorial sangat terbatas. Sampai 1946, administrasi di
Afrika Equatorial Prancis sama dengan yang berlaku di daerah-daerah Prancis
lainnya. Walaupun keadaan Afrika Equatorial lebih terbelakang daripada Afrika
Barat, namun Afrika Equatorial memegang peranan dalam usaha mengubah politik
kolonial Prancis di Afrika. Afrika Equatorial merdeka dibawah pimpinan De
Gaulle pada masa Perang Dunia II. Pandangan Prancis yang semula sangat
merendahkan penduduk Afrika Equatorial berubah dan menganggap penduduk daerah
tersebut sebagai pahlawan-pahlawan yang setia dan mereka itu patut diterima
sebagai warganegara Prancis. Afrika Equatorial Prancis mendapat 6 kursi dari
jumlah 622 dalam National Assembly. Selain ikut mengambil bagian dalam National
Assembly, senat dan Assembly of the Union, pembentukan dewan-dewan lokal mempunyai
arti yang lebih penting bagi hari depan penduduk. Tiap satu Grand Council dan
untuk federasi dibentuk satu Grand Council. Pada akhir Perang Dunia II,
perkembangan politik selanjutnya di Afrika Equatorial ini tidak dapat menyaingi
Afrika Barat Prancis. Penduduknya masih bersifat feodal, pendapat ini
dibuktikan dengan peristiwa ketika diadakan pemilihan wakil untuk Constituency
Assembly pada 1945.
Afrika Arab
Setelah pembahasan tentang sistem kolonialisasi
Perancis didaerah Afrika Barat dan juga Afrika Equatorial serta Afrika Timur
yang secara garis besar terdapat persamaan, maka kondisi berbeda dirasakan pada
tanah koloni Perancis yang ada didaerah Afrika Barat-Laut. Daerah yang sebagian
besar berada di daerah pesisir pantai Laut Tengah terdiri dari daerah yang
bernama Maroko, Aljazair, dan juga Tunisia, mempunyai persoalan tentang Plural Societies.
Daerah yang disebut Maghreb oleh bangsa Arab ini
dahulu didiami oleh orang-orang dari bangsa Berber, sampai pada pendudukan
bangsa Arab dan terjadi asimilasi dari kedua bangsa tersebut. Kebudayaan Arab
ini dapat berkembang pesat dikarenakan orang-orang Arab yang menamkan pengaruhnya
dengan membentuk suatu kasta penguasa yang berasal dari keturunan-keturuna
orang Arab dan wanita –wanita bumiputra. Oleh karena itulah bahasa Arab serta
agama Islam lebih meresap dikalangan bangsa-bangsa di Afrika Utara.
Dalam penerapan sitem politik kolonisasinya pemerintah Perancis mencoba
untuk menyisihkan penduduk bumiputra yang beragama Islam dari jabatan-jabatan
tingkat menengah dan atas. Akibatnya adalah dengan terlihatnya perbedaan yang
mencolok dalam lapisan masyarakat, orang asing yang beragama nasrani , memiliki
hak dan dapat hidup mewah sementara orang muslim atau orang yang ditaklukan
hidup dalam kemiskinan dan tidak mempunyai hak. Daerah Maghreb yang pertama
kali diduduki oleh Perancis adalah Aljazair pada tahun 1830. Pada mulanya
daerah ini hanya meliput daerah sepanjang pantai saja, tetapi berkembang hingga
ke selatan. Pemerintahan awal daerah ini pertama kali dikendalikan oleh seorang
Gubenur Jendral, biarpun ketika beralihnya kekuasaan di negeri induk juga
mendorong sistem pemerintahan tetapi pada akhirnya kekuasaan daerah ini tetap
dipegang oleh seorang Gubenur Jendral dengan tambahan kekuasaan militer.
Tahun 1870 pemerintah pusat di Paris mengeluarkan
sebuah undang-undang tentang pemberian kewaraga negaraan bagi kaum minoritas
Yahudi di Aljazair. Undang-undang ini sangat mendeskritkan bagi kaum mayoritas
di daerah itu yaitu kaum Islam. Karena didalam undang-undang tersebut
disebutkan bahwa orang Islam yang ingin mempunyai hak yang sama harus rela
melepaskan syariat-syariat Islam. Pada masa selanjutnya pemerintah Perancis
mencoba untuk merayu para elitis Islam masuk menjadi warga negara negaranya,
tetapi para kaum elitis Islam ini tetap menolak. Diwilayah Aljazair sendiri
terdapat tiga macam tipe daerah, yaitu Full
Power Communes, Mixed Communes, dan Native
Communes. Tipe daerah tersebut juga mencirikan suatu stratifikasi sosial
yang ada di dalam daerah ini, pada tipe daerah pertama merupakan daerah yang
mengikuti sistem Perancis dan pemerintah mengatur untuk kepentingan bangsa
Eropa. Pada tipe kedua adalah daerah perpaduan antara bangsa Eropa dengan kaum
Muslim. Sementara tipe yang terakhir adallah daerah Islam yang dipimpin oleh
orang Islam dan memerintah daerah Islam. Pada pemerintahannya dipegang oleh
Gubenur Jendral dengan bantuan dewan konsultatif. Angita dewan yang terdiri
dari 15 orang dan Superior Council dengan
60 orang. Sesudah tahun 1946 keanggotaan
didewan ini dipertambah dengan 30 orang dan jumlah senator yang menjadi 14
orang, pada tahun ini pula orang muslim dapat masuk kedalam struktur
pemerintahan dewan. Didalam bidang pendidikan pemerintah mencoba memperluas
sekolah-sekolah untuk anak-anak Eropa dan juga para bumiputra. Tetapi sebelum
tahun 1930-an orang-oang muslim hanya sedikit yang mengirimkan anaknya ke
sekolah-sekolah itu. Pada umumnya para orang tua muslim tersebut mengirimkan
anak-anaknya ke madrasah-madrasah yang notabennnya mengajarkan kebudayaan Arab,
maka tak ayal banyak penduduk asli atau bumi putra di Aljazair yang buta huruf.
hanya sedikit dari masyarakat bumiputra yang sanggup menyelesaikan
pendidikannya setingkat universitas, dan mereka ini yang nantinya akan menjadi
golongan elitis dari kaum pribumi. Golongan elit ini dibesarkan dalam
pendidikan barat dan Perancis yang nantinya akan menjadi motor penggerak dalam
partai-partai politik, dengan tuntutan untuk pembaharuan pemerintahan serta
bertujuan untuk memperbaiki nasib rakyatnya. Para golongan elit ini berpendapat
bahwa apa yang dilakukan pemerintahan Perancis tidak serta merta memperbaiki
persoalan Plural Societies.
Kesenjangan ekonomi dan juga sosial tetap merajalela. Mereka yang berjuang
gigih untuk kemerdekaan Aljazair antara lain seperti Ferhat Abbas, Messali
Hadj, Ben Bella, dan Belkasim Karim.
Selain Aljazair terdapat dua daerah Perancis
lainnya yang berada di Afrika Barat-Laut, daerah itu adalah Maroko dan Tunisia.
Kedua daerah tersebut merupakan Prektoktariat yang berbeda dengan Aljazair yang
merupakan suatu Propinsi Metropolitan Perancis. Tetapi kesamaan terdapat dalam
penerapan para kolonial didaerah tersebut, salah satunya dalam hal pembagian
tanah dan penanaman modal. Maroko yang terletak didaerah strategis antara Laut
Tengah da Samudra Atlantik dikuasai oleh Perancis setelah diadakannya
perjanjian Fez pada tahun 1912. Perjanjian tersebut mengikat Maroko untuk
menjadi suatu daerah Prektaktoriat Perancis, dalam perjajian tersebut Sultan
Maroko masih tetap menjadi kepala negara walaupun hanya berupa lambang saja.
Pemerintahan dipegang oleh keresidenan
Jendral Perancis atas nama pemerintahan Perancis. Sama seperti daerah
jajahan lainnya politik asimilisasi Perancis tetap dilakukan, tetapi tidak
mudah bagi daerah-daerah yang mayoritasnya beragama muslim itu untuk melepaskan
kebudayaan dan agamanya yang telah lama mereka anut. Hal itu pula yang
menjadikan masyarakat muslim Maroko tidak tertarik dengan pendidikan model
barat. Dalam hal perekonomian Maroko mempunyai daerah yang subur dan juga
kekayaan alam yang berlimpah. Tidak hanya itu hasil-hasil tambang dari daerah
tersebut juga menguntukan bagi para kaum kolonis di Maroko itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Benua Afrika
merupakan benua yang asing bagi bangsa Barat, maka semenjak kedatangan para
pedagang yang sekaligus sebagai penjelajah dunia. Maka benua Afrika mulai
terkenal oleh bangsa Barat. Banyak bangsa Barat yang berusaha untuk menguasai
benua Afrika. Hal itu terjadi karena kekayaan alam benua Afrika yang sangat
kaya dan sumber daya manusia untuk keperluan perang pada saat itu.
Daerah- daerah koloni Prancis
mengadopsi doktrin “asimilasi”. Doktrin asimilasi yaitu orang- orang Afrika dapat dijadikan orang Prancis. Tujuan politik
asimilasi tersebut adalah mengintegrasi daerah milik di seberang lautan dengan
Prancis; mengasimilasi penduduk koloni dalam kerangka prancis baik politik,
sosial, ekonomi, etnis, religius maupun kultural. Maka untuk mencapai tujuan
tersebut bahasa- bahasa dan kebudayaan Afrika tidak dimasukkan dalam pendidikan
kolonial Prancis. Tetapi doktrin
asimilasi tidak dapat diterima sepenuhnya oleh koloni- koloni Prancis. Ada
beberapa wilayah yang tidak dapat menerima doktrim asimilasi karena tingkat
pendidikan yang rendah.
Di Afrika, daerah koloni Perancis terbagi menjadi
dua yaitu Afrika “Hitam” dan juga Afrika “Arab”. Afrika Hitam Perancis ini
seperti Afrika Barat yang meliputi daerah Senegal dan Pantai Gading, Afrika
Equatorial, Somalia Perancis, Madagaskar, dan juga Togo. Sementara untuk daerah
Arab Afrika, Kekuasaan Perancis meliputi daerah Maroko, Aljazair, serta
Tunisia.
Daftar Pustaka
Soeratman, Darsiti. 2012. Sejarah
Afrika. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar