Senin, 27 Mei 2013

Studi Masyarakat Indonesia


KEBUDAYAAN MASYARAKAT TORAJA

1.1  Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia yang kaya akan sebuah kebudayaan daerah yang bermacam- macam menjadikan Indonesia menjadi sebuah Negara yang multikultural. Setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda- beda. Seperti kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Toraja. Yang terkenal dari kebudayaan Toraja adalah upacara kematian dan bangunan rumah tradisionalnya yang disebut dengan Tongkonan. Bangunan Tongkonan memiliki cirri khas yang unik. Semua posisi rumah Tongkonan menghadap ke arah utara dan selalu dihiasi dengan ukiran yang beraneka ragam pada hampir seluruh bidang luarnya. Dan sebelum membangun rumah tradisional tersebut terdapat tata cara dan peraturan yang berdasarkan adat istiadat dan kepercayaan masyarakat Toraja.
Toraja sekarang merupakan hasil interaksi dan pembauran berbagai kebudayaan daerah dan etnis, ditambah pengaruh- pengaruh dari luar sejak dahulu hingga kini. Perubahan dari cara hidup yang berdasarkan adat ke cara hidup beragama dengan adanya sejumlah pengaruh dari luar, pada gilirannya mempengaruhi tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga adat dan kepercayaan Aluk Todolo secara perlahan tidak dipegang sebagai patokan mutlak dalam kehidupan sehari-hari.
Namun tidak berarti keterikatan masyarakat dengan budaya leluhurnya telah hilang sepenuhnya. Sejumlah aspek budaya yang berlandaskan Aluk Todolo itu tetap “eksis” dan mewarnai hubungan sosial di Toraja, dengan tetap melaksanakan upacara adat untuk menghormati leluhur yang telah meninggal.  


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Geografi dan Demografi Toraja
Secara administratif saat ini Tana Toraja yang biasa disebut “Tator“ merupakan kabupaten dan dipimpin oleh seorang Bupati. Luas daerahnya ±3.205,77 KM², terletak antara 2° dan 3° LS serta 119° dan 120° BT. Dengan batas wilayah disebelah utara berbatasan dengan kabupaten Luwu dan Mamuju, di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Luwu, di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Enrekang dan Pinrang dan di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Polmas. Topografi Toraja merupakan pegunungan dan daratan tinggi dengan ketinggian 300- 2889 mdpl.[1]
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.
Kabupaten Tana Toraja dengan ibukota kabupaten Makale, terbagi dalam 9 kecamatan yaitu Rinding Allo, Sesean, Rantepao, Sanggalangi, Saluputti, Bonggakaradeng, Makale, Sanggala dan Mengkendek.[2]
Sebagian besar masyarakat Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dan adapula yang bekerja pada sektor lain seperti perdagangan, pemerintahan, hotel, restoran, industri, industri kerajinan, lembaga keuangan dan lain sebagainya.
Agama yang dianut oleh masyarakat Toraja sebagian besar adalah Kristen Protestan. Adapun agama yang lain yang dianut oleh masyarakat Toraja antara lain islam, katolik. Dan sebagian kecil masih ada masyarakat Toraja yang mempercayai Alukta (Aluk Todolo). Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
2.2  Asal Mula Nama Toraja
Beberapa pendapat mengenai asal kata Toraja, yaitu :
a.       Berasal dari istilah orang Bugis Sidenreng (Kerajaan Sidenreng) yaitu Toriaja. To artinya orang, riaja artinya sebelah atas atau bagian utara.[3] Artinya orang yang berasal dari ketinggian di sebelah utara.
b.      Berasal dari istilah orang Bugis Luwu (Kerajaan Luwu) yaitu to Rajang. To artinya orang, Rajang artinya sebelah barat kerajaan Luwu. Artinya orang yang berasal dari daerah sebelah barat[4].
Ada sebuah mitos yang mengatakan Lakipadada menjelaskan bahwa Lakipadada itu mengadakan pengembaraan untuk mencari hidup abadi, yang kemudian tiba/ terdampar di Kerajaan Gowa sebagai seorang yang tidak dikenal asal- usulnya, namun pada diri Lakipadada ditemukan tanda- tanda yang cukup menyakinkan bahwa dia adalah keturunan raja tersebut datang dari sebelah timur (sesuai dengan mitos asal/ silsilah raja- raja di Sulawesi Selatan, maka oleh orang- orang setempat di Gowa memberi sebutan kepada Lakipadada itu dengan nama Tau Raya). Sehingga menamakan pula tempat asalnya sebagai Tana Tau Raya. Oleh karena itu Lakipadada berasal dari Tondok Lepongan Bulan, maka nama tersebut juga dinamakan Tana Tau Raya oleh orang Gowa, yang kemudian menjadi Tana Toraja yang dikenal saat ini.
Adanya nama Lepongan Bulan Tana Matarik Allo bersumber dari terbentuk negeri itu dalam suatu kebulatan/ kesatuan tata masyarakat yang berdasarkan :
a.       Persekutuan dan kesatuan berdasarkan satu agama/ kepercayaan yaitu Aluk Todolo dengan satu aturan yang bersumber dari Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu Pitung Pulo Pitu (aturan tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh)
b.      Terbentuknya negeri tersebut berasal dari beberapa Daerah Adat yang mempergunakan satu dasar adat dan budaya, dengan satu sumber yang memancar bagaikan sinar bulan dan matahari.[5]
Ada sebuah cerita tentang perang antara suku Bugis dengan suku Toraja yang diceritakan dalam suatu kisah kepahlawanan orang Toraja. Didalam kisah itu bersatunya orang- orang Toraja saat itu, yang datang dari berbagai pelosok untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Bone yang menyerbu untuk menaklukkan Tana Toraja pada tahun 1683. Dapat diartikan bahwa suku Toraja bukan hanya menempati satu wilayah saja tetapi banyak wilayah mulai Sulawesi Tengah dari Poso di sebelah utara sampai Teluk Bone di sebelah selatan Kabupaten Massendrengpulu (Enrekang), Daswati, Pare- Pare sampai ke Kolonedale dan ternyata dalam kehidupan kekeluargaan, anggota- anggota keluarga yang tinggal di luar kawasan Toraja masih tetap diakui keberadaannya sebagai orang Toraja.
Selain itu, Dr. N. Adriani memjelaskan bahwa suku Toraja dibagi atas 3 bagian besar yaitu :
1)      Toraja Barat ( Kulawi, Kailo, dan lain- lain) kini meliputi Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
2)      Toraja Timur ( Poso )
3)      Toraja Selatan (Toraja Sa’dan ) kini meliputi :
·         Kabupaten Tana Toraja untuk daerah Makale dan Rantepao
·         Kabupaten Polewali Mamasa untuk Polewali Mamasa
·         Kabupaten Luwu untuk Salu Noling, Salu Lamasi dan Rongkong.

2.3  Asal Usul Suku Toraja
Sulawesi Selatan didiami oleh empat kelompok etnis sebagai penduduk asli, yaitu Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja dengan perbedaan latar belakang dari segi sejarah, budaya, sosial, bentuk pemerintahan, dan lain sebagainya. Walaupun kini Toraja terletak di Sulawesi Tenggara.
Asal usul orang Toraja sebagai salah satu suku yang menghuni daratan Sulawesi Selatan selain suku Bugis, Makassar dan Mandar , menurut beberapa sumber berasal dari Dong Son. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pengaruh kebudayaan Dong Son pada gaya rumah tradisional Toraja yang mempunyai tiang pondasi dengan bentuk atap melengkung menjulang pada bagian depan dan belakang, seperti gaya rumah- rumah yang digambarkan pada genderang yang berasal dari Dong Son.[6]
Masyarakat Toraja sendiri menganggap bentuk atap rumah tradisional atau Tongkonan sebagai abstraksi bentuk perahu dengan membandingkan antara bentuk garis lengkung atap pada bagian depan dan belakang.




2.4  Adat dan Kepercayaan Toraja
Adat adalah aturan- aturan tentang kehidupan manusia yang disepakati penduduk dalam suatu daerah tertentu untuk mengatur tingkah laku anggota masyarakatnya sebagai kelompok sosial.[7]
Setiap manusia yang ada dalam lingkaran kehidupan adat adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari unit sosial tersebut, atau bisa disebut seluruh mekanisme kehidupan sosial bagi semua anggota masyarakat dijiwai oleh adat. Mereka harus patuh terhadap aturan adat. Jika ada salah satu anggota masyarakat yang melanggar akan diberikan sangsi tergantung berat atau kecilnya pelanggaran adat yang ia lakukan.
Kepercayaan mengandung makna yaitu kepercayaan manusia terdap Tuhan Yang Maha Esa dan sifat- sifatnya, kepercayaan terhadap wujud alam gaib, hakikat hidup manusia, hakikat maut, dan hakikat wujud makhluk- makhluk halus yang mendiami alam gaib.
Kepercayaan sangat erat hubungannya dengan upacara- upacara religius dan menentukan tata ukur daripada unsur- unsur acara serta rangkaian alat- alat yang dipakai dalam upacara itu.[8] Orang Toraja percaya bahwa segala sesuatu didunia in memiliki nyawa. Sekalipun manusia itu meninggal tetapi nyawa tetaplah ada.
Menurut sejarah kebudayaan Toraja, dahulu masyarakat Toraja memiliki kepercayaan yang bisa disebut Aluk Todolo yang sudah ada pada abad ke-9 Masehi. Ajaran Aluk Todolo mengemukakan bahwa diluar diri manusia terdapat tiga unsur kekuatan yang wajib dipercayai akan kebenaran, kebesaran, dan kekuasaannya. Ketiga unsur tersebut antara lain :
1.      Puang Matua
Puang Matua merupakan kekuatan yang paling tinggi sebagai pencipta segala isi di bumi. Suatu aturan harus dipatuhi oleh manusia dengan menjalankan kewajibannya mengadakan persembahan dan pemujaan. Aluk Todolo mengajarkan bahwa Puang Matua memberi kesenangan dan kebahagian serta kutukan sesuai dengan perbuatannya.
2.      Deata- Deata
Deata- Deata untuk pemeliharaan dan penguasaan terhadap bumi ini, serta bertanggung jawab agar seluruh isi bumi ini dapat dipergunakan dan didiami oleh manusia untuk menyembah kepada Puang Matua. Menurut kepercayaan Aluk Todolo terdapat 3 Deata utama untuk menguasai masing- masing wilayah tertentu antara lain;
·         Deata Tangngana Langi’ yang bertugas menguasai, memelihara dan bertanggung jawab terhadap seluruh isi langit dan cakrawala.
·         Deata Kapadanganna yang bertugas menguasai, memelihara dan bertanggung jawab terhadap seluruh isi permukaan bumi.
·         Deata Tangngana Padang yang bertugas menguasai, memelihara dan bertanggung jawab segala isi tanah, sungai, laut serta seluruh isi bumi.
3.      Tomembali Puang
Menurut ajaran Aluk Todolo, Tomembali Puang (arwah leluhur) yang juga disebut Todolo merupakan penjelmaan arwah para leluhur yang kemudian menjadi dewa. Tugasnya adalah mengawasi perbuatan dan perilaku serta memberikan berkah pada manusia dan keturunannya. [9]
Masyarakat Toraja yang mempercayai Aluk Todolo untuk memuja dan menyembah dengan menggunakan persembahan berupa penyembelihan hewan seperti kerbau, babi, anjing dan ayam. 
2.5  Kehidupan Ritual di Toraja
Rumah tradisional masyarakat Toraja memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan ritual di Toraja. Penyelenggaraan pesta adat pada tingkatan tertentu dilaksanakan dengan mengacu pada konsep kosmologi Toraja, dan berpedoman pada titik mata angin dan Tongkonan atau rumah tradisional Toraja sebagai pusat utamanya. Dengan kata lain, sebagai tempat bertumpunya persilangan empat penjuru mata angin dan wadah bagi asas- asas kehidupan manusia.
Ada dua kehidupan ritual yang penting pada masyarakat Toraja yaitu:
1.      Rambu Tuka
Adalah pesta adat pengucapan syukur, keselamatan, kegembiraan, kesukaan dan kebahagiaan. Pelaksanaannya di sebelah timur Tongkonan pada saat matahari terbit, dan dilaksanakan secara bertingkat- tingkat sesuai dengan syarat adat istiadat dalam masyarakat Toraja. Didalam pesta ini ada sekitar 20 lebih pesta, tetapi hanya beberapa saja yang akan dijabarkan antara lain :
·         Merok adalah upacara pemujaan dan persembahan kepada Puang Matua dengan kurban persembahan antara lain kerbau, babi, dan ayam. Merok untuk pelantikan seorang arwah leluhur menjadi Tomembali Puang dinamakan Merok Pembalikan Tomate. Sedangkan merok yang diadakan sehubungan dengan selesainya pembangunan Tongkonan disebut Merok Mangrara Banua.
·         Ma’bua adalah upacara pemujaan dan persembahan dengan sajian kurban sebagai pengucapan rasa syukur dan mengharapkan berkah serta meminta perlindungan dari Puang Matua, Deata- Deata dan Tomembali Puang.
·         Ma’bugi adalah upacara pemujaan dengan tujuan untuk menghalau dan menolak malapetaka supaya tidak menimpa keluarga atau masyarakat.


2.      Rambu Solo’
Rambu solo’ atau Aluk Rampe Matampu adalah pesta kedukaan, upacara pemakaman atau kematian. Ritual ini dilaksanakan di sebelah barat Tongkonan dengan mempersembahkan babi dan kerbau kepada arwah leluhur atau orang yang baru meninggal.
Menurut keyakinan Aluk Todolo, orang yang sudah meninggal belum dianggap mati tetapi dianggap “ orang sakit “ sehingga orang yang sudah meninggal masih diberikan makanan dan minuman yang disajikan di atas nampan dan cangkir.
Orang itu baru dikatakan mati betul ketika diadakan sebuah acara pemakaman yang diawali dengan upacara di daya (duduk menunggu tak tidur atau mata tidak tertutup) dan pada saat itu makanan disajian menggunakan daun pisang dan wadah minuman yang terbuat dari bambu karena sebagai wadah yang dapat mengantarkan sajian persembahan kepada yang ditujukan juga memperlihatkan segi ketersediaannya dan kepraktisan penggunaannya.
Menurut kepercayaan Aluk Todolo, orang meninggal hanyalah proses perubahan status dari manusia yang hidup menjadi roh di alam gaib. Oleh sebab itu, orang yang meninggal harus dirawat dan diperlakukan seperti sewaktu masih hidup dan memberikan segala keperluan yang diperlukan di alam gaib, yang disebut alam Puya’.
Bekal utama yang diperlukan anatara lain semua perlengkapan upacara, kurban hewan sajian, pakaian- pakaian dan harta benda seta dimasukkan dalam bungkusan mayat.
Upacara pemakaman itu sendiri, mempunyai beberapa tingkatan sesuai dengan status sosial orang yang meninggal dunia di dalam masyarakat Toraja. Tingkatan tersebut antara lain :
o   Tingkatan pertama : Disilli
Yaitu upacara pemakaman bagi orang dari tingkatan budak dengan memotong seekor babi.
o   Tingkatan kedua : Dipasang bongi
Yaitu upacara pemakaman bagi golongan menengah, acaranya berlangsung satu hari di rumah dengan memotong seekor kerbau dan beberapa ekor babi.
o   Tingkatan ketiga : Dipattalung bongi
Yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga hari dengan memotong empat ekor kerbau dan sekitar sepuluh ekor babi.
o   Tingkatan keempat : Dipalimang bongi
Yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama lima hari dengan memotong sembilan ekor kerbau dan puluhan ekor babi.
o   Tingkatan keenam : Dipappitung bongi
Yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh hari dengan memotong sembilan ekor kerbau dan lebih dari dua puluh ekor babi. Didalam upacara tersebut diadakan upacara rapasan jenazah yaitu jenazah disimpan dalam peti jenazah sampai kering. Jenis upacara ini hanya golongan bangsawan tinggi (tana’ bulaan) dimana jenazahnya dibalu bulaan yaitu kain kafannya dihiasi benang emas sebagai tanda yang menunjukkan kekayaan keluarga orang itu, dengan motif pa’doti siluan (bagi wanita) sedangkan pa’bua kappa (bagi laki- laki) yang bermakna simbolik kebangsawanan dan kemuliaan. [10]
2.6  Seni Tradisional Toraja
Seni tradisional masyarakat Toraja sangat lah indah. Terbukti karya seni yang sangat menonjol adalah seni arsitektur bangunan rumah adat (Tongkonan) , lumbung padi (alang) dan ukiran. Dinding tongkonan dan alang diukir dengan ragam hias tradisional masyarakat Toraja disebut Tongkonan sura’ (banua sura’) dan alang sura’.
Namun tidak semua dinding rumah tradisional masyarakat Toraja dihiasi oleh ukiran, karena beberapa ukiran merupakan simbol status sosial bagi orang- orang tertentu dalam masyarakat Toraja sehingga penerapan motif tertentu harus disesuaikan dengan aturan adat. Karya kerajinan masyarakat Toraja adalah ukiran dan tenunan. Musik tradisional Toraja yaitu passuling, pa’pelle (pa’barrung), pa’pompang (pa’bas), pa’tulali dan pa’keso’keso. Alat musik biasanya terbuat dari bambu, batang lidi, daun enau, dan tempurung kelapa. Dan dimainkan pada saat upacara adat.


BAB III
KESIMPULAN
Bangsa Indonesia yang kaya akan kebudayaan dan hasil alamnya harus kita jaga dan lestarikan. Karena itu harta warisan sebuah bangsa Indonesia. Setiap wilayah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda seperti kebudayaan masyarakat Toraja. Masyarakat Toraja yang terkenal dengan ukiran, hasil tenun, rumah tradisional yang banyak ukiran dan hiasan di dinding rumah, serta tak lupa upacara adat yang penuh makna.
Meskipun tiap hiasan rumah tradisional dan upacara pemakaman yang berdasarkan status sosial serta kepercayaan yang berbeda- beda tetapi masyarakat Toraja tetap hidup berdamping di atas segala perbedaan yang ada.







DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Said. 2004. Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Izarwisma Mardanas,dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Proyek Invantarisasi Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan, Depdikbud.

Tangdilintin LT. 1981. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan.

Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.






[1] Abdul Aziz Said. 2004. Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm 7.
[2] Ibid., hlm 7
[3] Abdul Aziz Said. 2004. Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm 9.
[4] Izarwisma Mardanas,dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Proyek Invantarisasi Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan, Depdikbud. hlm 77.

[5] Tangdilintin LT. 1981. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan. Hlm 1.
[6] Abdul Aziz Said. 2004. Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm 13-14 .

[7] Ibid., hlm 25
[8] Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. hlm 148
[9] Abdul Aziz Said. 2004. Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm 27-29 .


[10] Abdul Aziz Said. Ibid. hlm. 32-41.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar