KEBUDAYAAN MASYARAKAT TORAJA
1.1 Latar
Belakang Masalah
Masyarakat
Indonesia yang kaya akan sebuah kebudayaan daerah yang bermacam- macam
menjadikan Indonesia menjadi sebuah Negara yang multikultural. Setiap daerah
memiliki kebudayaan yang berbeda- beda. Seperti kebudayaan yang terdapat dalam
masyarakat Toraja. Yang terkenal dari kebudayaan Toraja adalah upacara kematian
dan bangunan rumah tradisionalnya yang disebut dengan Tongkonan. Bangunan
Tongkonan memiliki cirri khas yang unik. Semua posisi rumah Tongkonan menghadap
ke arah utara dan selalu dihiasi dengan ukiran yang beraneka ragam pada hampir
seluruh bidang luarnya. Dan sebelum membangun rumah tradisional tersebut
terdapat tata cara dan peraturan yang berdasarkan adat istiadat dan kepercayaan
masyarakat Toraja.
Toraja
sekarang merupakan hasil interaksi dan pembauran berbagai kebudayaan daerah dan
etnis, ditambah pengaruh- pengaruh dari luar sejak dahulu hingga kini.
Perubahan dari cara hidup yang berdasarkan adat ke cara hidup beragama dengan
adanya sejumlah pengaruh dari luar, pada gilirannya mempengaruhi tatanan
kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga adat dan kepercayaan Aluk Todolo
secara perlahan tidak dipegang sebagai patokan mutlak dalam kehidupan
sehari-hari.
Namun
tidak berarti keterikatan masyarakat dengan budaya leluhurnya telah hilang
sepenuhnya. Sejumlah aspek budaya yang berlandaskan Aluk Todolo itu tetap
“eksis” dan mewarnai hubungan sosial di Toraja, dengan tetap melaksanakan
upacara adat untuk menghormati leluhur yang telah meninggal.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Geografi
dan Demografi Toraja
Secara
administratif saat ini Tana Toraja yang biasa disebut “Tator“ merupakan
kabupaten dan dipimpin oleh seorang Bupati. Luas daerahnya ±3.205,77 KM²,
terletak antara 2° dan 3° LS serta 119° dan 120° BT. Dengan batas wilayah
disebelah utara berbatasan dengan kabupaten Luwu dan Mamuju, di sebelah timur
berbatasan dengan kabupaten Luwu, di sebelah selatan berbatasan dengan
kabupaten Enrekang dan Pinrang dan di sebelah barat berbatasan dengan kabupaten
Polmas. Topografi Toraja merupakan pegunungan dan daratan tinggi dengan
ketinggian 300- 2889 mdpl.[1]
Kabupaten
Tana Toraja dengan ibukota kabupaten Makale, terbagi dalam 9 kecamatan yaitu
Rinding Allo, Sesean, Rantepao, Sanggalangi, Saluputti, Bonggakaradeng, Makale,
Sanggala dan Mengkendek.[2]
Sebagian besar
masyarakat Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dan adapula yang bekerja
pada sektor lain seperti perdagangan, pemerintahan, hotel, restoran, industri,
industri kerajinan, lembaga keuangan dan lain sebagainya.
Agama
yang dianut oleh masyarakat Toraja sebagian besar adalah Kristen Protestan.
Adapun agama yang lain yang dianut oleh masyarakat Toraja antara lain islam,
katolik. Dan sebagian kecil masih ada masyarakat Toraja yang mempercayai Alukta
(Aluk Todolo). Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini
sebagai bagian dari Agama
Hindu Dharma.
2.2 Asal
Mula Nama Toraja
Beberapa pendapat
mengenai asal kata Toraja, yaitu :
a.
Berasal dari istilah orang Bugis
Sidenreng (Kerajaan Sidenreng) yaitu Toriaja. To artinya orang, riaja artinya
sebelah atas atau bagian utara.[3]
Artinya orang yang berasal dari ketinggian di sebelah utara.
b.
Berasal dari istilah orang Bugis Luwu
(Kerajaan Luwu) yaitu to Rajang. To artinya orang, Rajang artinya sebelah barat
kerajaan Luwu. Artinya orang yang berasal dari daerah sebelah barat[4].
Ada
sebuah mitos yang mengatakan Lakipadada menjelaskan bahwa Lakipadada itu
mengadakan pengembaraan untuk mencari hidup abadi, yang kemudian tiba/
terdampar di Kerajaan Gowa sebagai seorang yang tidak dikenal asal- usulnya,
namun pada diri Lakipadada ditemukan tanda- tanda yang cukup menyakinkan bahwa
dia adalah keturunan raja tersebut datang dari sebelah timur (sesuai dengan
mitos asal/ silsilah raja- raja di Sulawesi Selatan, maka oleh orang- orang
setempat di Gowa memberi sebutan kepada Lakipadada itu dengan nama Tau Raya).
Sehingga menamakan pula tempat asalnya sebagai Tana Tau Raya. Oleh karena itu
Lakipadada berasal dari Tondok Lepongan Bulan, maka nama tersebut juga
dinamakan Tana Tau Raya oleh orang Gowa, yang kemudian menjadi Tana Toraja yang
dikenal saat ini.
Adanya
nama Lepongan Bulan Tana Matarik Allo bersumber dari terbentuk negeri itu dalam
suatu kebulatan/ kesatuan tata masyarakat yang berdasarkan :
a.
Persekutuan dan kesatuan berdasarkan
satu agama/ kepercayaan yaitu Aluk Todolo dengan satu aturan yang bersumber
dari Aluk Pitung Sa’bu Pitu Ratu Pitung Pulo Pitu (aturan tujuh ribu tujuh
ratus tujuh puluh tujuh)
b.
Terbentuknya negeri tersebut berasal
dari beberapa Daerah Adat yang mempergunakan satu dasar adat dan budaya, dengan
satu sumber yang memancar bagaikan sinar bulan dan matahari.[5]
Ada
sebuah cerita tentang perang antara suku Bugis dengan suku Toraja yang
diceritakan dalam suatu kisah kepahlawanan orang Toraja. Didalam kisah itu
bersatunya orang- orang Toraja saat itu, yang datang dari berbagai pelosok
untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Bone yang menyerbu untuk
menaklukkan Tana Toraja pada tahun 1683. Dapat diartikan bahwa suku Toraja
bukan hanya menempati satu wilayah saja tetapi banyak wilayah mulai Sulawesi
Tengah dari Poso di sebelah utara sampai Teluk Bone di sebelah selatan
Kabupaten Massendrengpulu (Enrekang), Daswati, Pare- Pare sampai ke Kolonedale
dan ternyata dalam kehidupan kekeluargaan, anggota- anggota keluarga yang
tinggal di luar kawasan Toraja masih tetap diakui keberadaannya sebagai orang
Toraja.
Selain itu, Dr. N.
Adriani memjelaskan bahwa suku Toraja dibagi atas 3 bagian besar yaitu :
1) Toraja
Barat ( Kulawi, Kailo, dan lain- lain) kini meliputi Provinsi Sulawesi Tengah
dan Sulawesi Tenggara.
2) Toraja
Timur ( Poso )
3) Toraja
Selatan (Toraja Sa’dan ) kini meliputi :
·
Kabupaten Tana Toraja untuk daerah
Makale dan Rantepao
·
Kabupaten Polewali Mamasa untuk Polewali
Mamasa
·
Kabupaten Luwu untuk Salu Noling, Salu
Lamasi dan Rongkong.
2.3 Asal
Usul Suku Toraja
Sulawesi
Selatan didiami oleh empat kelompok etnis sebagai penduduk asli, yaitu Bugis,
Makassar, Mandar, dan Toraja dengan perbedaan latar belakang dari segi sejarah,
budaya, sosial, bentuk pemerintahan, dan lain sebagainya. Walaupun kini Toraja
terletak di Sulawesi Tenggara.
Asal
usul orang Toraja sebagai salah satu suku yang menghuni daratan Sulawesi
Selatan selain suku Bugis, Makassar dan Mandar , menurut beberapa sumber
berasal dari Dong Son. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pengaruh kebudayaan
Dong Son pada gaya rumah tradisional Toraja yang mempunyai tiang pondasi dengan
bentuk atap melengkung menjulang pada bagian depan dan belakang, seperti gaya
rumah- rumah yang digambarkan pada genderang yang berasal dari Dong Son.[6]
Masyarakat
Toraja sendiri menganggap bentuk atap rumah tradisional atau Tongkonan sebagai
abstraksi bentuk perahu dengan membandingkan antara bentuk garis lengkung atap
pada bagian depan dan belakang.
2.4 Adat
dan Kepercayaan Toraja
Adat
adalah aturan- aturan tentang kehidupan manusia yang disepakati penduduk dalam
suatu daerah tertentu untuk mengatur tingkah laku anggota masyarakatnya sebagai
kelompok sosial.[7]
Setiap
manusia yang ada dalam lingkaran kehidupan adat adalah bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari unit sosial tersebut, atau bisa disebut seluruh mekanisme
kehidupan sosial bagi semua anggota masyarakat dijiwai oleh adat. Mereka harus
patuh terhadap aturan adat. Jika ada salah satu anggota masyarakat yang
melanggar akan diberikan sangsi tergantung berat atau kecilnya pelanggaran adat
yang ia lakukan.
Kepercayaan
mengandung makna yaitu kepercayaan manusia terdap Tuhan Yang Maha Esa dan
sifat- sifatnya, kepercayaan terhadap wujud alam gaib, hakikat hidup manusia,
hakikat maut, dan hakikat wujud makhluk- makhluk halus yang mendiami alam gaib.
Kepercayaan
sangat erat hubungannya dengan upacara- upacara religius dan menentukan tata
ukur daripada unsur- unsur acara serta rangkaian alat- alat yang dipakai dalam
upacara itu.[8]
Orang Toraja percaya bahwa segala sesuatu didunia in memiliki nyawa. Sekalipun
manusia itu meninggal tetapi nyawa tetaplah ada.
Menurut
sejarah kebudayaan Toraja, dahulu masyarakat Toraja memiliki kepercayaan yang
bisa disebut Aluk Todolo yang sudah ada pada abad ke-9 Masehi. Ajaran Aluk
Todolo mengemukakan bahwa diluar diri manusia terdapat tiga unsur kekuatan yang
wajib dipercayai akan kebenaran, kebesaran, dan kekuasaannya. Ketiga unsur
tersebut antara lain :
1.
Puang Matua
Puang
Matua merupakan kekuatan yang paling tinggi sebagai pencipta segala isi di
bumi. Suatu aturan harus dipatuhi oleh manusia dengan menjalankan kewajibannya
mengadakan persembahan dan pemujaan. Aluk Todolo mengajarkan bahwa Puang Matua
memberi kesenangan dan kebahagian serta kutukan sesuai dengan perbuatannya.
2.
Deata- Deata
Deata-
Deata untuk pemeliharaan dan penguasaan terhadap bumi ini, serta bertanggung
jawab agar seluruh isi bumi ini dapat dipergunakan dan didiami oleh manusia
untuk menyembah kepada Puang Matua. Menurut kepercayaan Aluk Todolo terdapat 3
Deata utama untuk menguasai masing- masing wilayah tertentu antara lain;
·
Deata Tangngana Langi’ yang bertugas
menguasai, memelihara dan bertanggung jawab terhadap seluruh isi langit dan
cakrawala.
·
Deata Kapadanganna yang bertugas
menguasai, memelihara dan bertanggung jawab terhadap seluruh isi permukaan
bumi.
·
Deata Tangngana Padang yang bertugas
menguasai, memelihara dan bertanggung jawab segala isi tanah, sungai, laut
serta seluruh isi bumi.
3.
Tomembali Puang
Menurut
ajaran Aluk Todolo, Tomembali Puang (arwah leluhur) yang juga disebut Todolo merupakan
penjelmaan arwah para leluhur yang kemudian menjadi dewa. Tugasnya adalah
mengawasi perbuatan dan perilaku serta memberikan berkah pada manusia dan
keturunannya. [9]
Masyarakat Toraja yang
mempercayai Aluk Todolo untuk memuja dan menyembah dengan menggunakan
persembahan berupa penyembelihan hewan seperti kerbau, babi, anjing dan
ayam.
2.5 Kehidupan
Ritual di Toraja
Rumah
tradisional masyarakat Toraja memiliki peranan yang sangat penting dalam
kehidupan ritual di Toraja. Penyelenggaraan pesta adat pada tingkatan tertentu
dilaksanakan dengan mengacu pada konsep kosmologi Toraja, dan berpedoman pada
titik mata angin dan Tongkonan atau rumah tradisional Toraja sebagai pusat
utamanya. Dengan kata lain, sebagai tempat bertumpunya persilangan empat penjuru
mata angin dan wadah bagi asas- asas kehidupan manusia.
Ada
dua kehidupan ritual yang penting pada masyarakat Toraja yaitu:
1.
Rambu Tuka
Adalah
pesta adat pengucapan syukur, keselamatan, kegembiraan, kesukaan dan
kebahagiaan. Pelaksanaannya di sebelah timur Tongkonan pada saat matahari
terbit, dan dilaksanakan secara bertingkat- tingkat sesuai dengan syarat adat
istiadat dalam masyarakat Toraja. Didalam pesta ini ada sekitar 20 lebih pesta,
tetapi hanya beberapa saja yang akan dijabarkan antara lain :
·
Merok adalah upacara pemujaan dan
persembahan kepada Puang Matua dengan kurban persembahan antara lain kerbau,
babi, dan ayam. Merok untuk pelantikan seorang arwah leluhur menjadi Tomembali
Puang dinamakan Merok Pembalikan Tomate. Sedangkan merok yang diadakan
sehubungan dengan selesainya pembangunan Tongkonan disebut Merok Mangrara
Banua.
·
Ma’bua adalah upacara pemujaan dan
persembahan dengan sajian kurban sebagai pengucapan rasa syukur dan
mengharapkan berkah serta meminta perlindungan dari Puang Matua, Deata- Deata
dan Tomembali Puang.
·
Ma’bugi adalah upacara pemujaan dengan
tujuan untuk menghalau dan menolak malapetaka supaya tidak menimpa keluarga
atau masyarakat.
2.
Rambu Solo’
Rambu
solo’ atau Aluk Rampe Matampu adalah pesta kedukaan, upacara pemakaman atau
kematian. Ritual ini dilaksanakan di sebelah barat Tongkonan dengan
mempersembahkan babi dan kerbau kepada arwah leluhur atau orang yang baru
meninggal.
Menurut
keyakinan Aluk Todolo, orang yang sudah meninggal belum dianggap mati tetapi
dianggap “ orang sakit “ sehingga orang yang sudah meninggal masih diberikan
makanan dan minuman yang disajikan di atas nampan dan cangkir.
Orang
itu baru dikatakan mati betul ketika diadakan sebuah acara pemakaman yang
diawali dengan upacara di daya (duduk
menunggu tak tidur atau mata tidak tertutup) dan pada saat itu makanan disajian
menggunakan daun pisang dan wadah minuman yang terbuat dari bambu karena
sebagai wadah yang dapat mengantarkan sajian persembahan kepada yang ditujukan
juga memperlihatkan segi ketersediaannya dan kepraktisan penggunaannya.
Menurut
kepercayaan Aluk Todolo, orang meninggal hanyalah proses perubahan status dari
manusia yang hidup menjadi roh di alam gaib. Oleh sebab itu, orang yang
meninggal harus dirawat dan diperlakukan seperti sewaktu masih hidup dan
memberikan segala keperluan yang diperlukan di alam gaib, yang disebut alam
Puya’.
Bekal
utama yang diperlukan anatara lain semua perlengkapan upacara, kurban hewan
sajian, pakaian- pakaian dan harta benda seta dimasukkan dalam bungkusan mayat.
Upacara
pemakaman itu sendiri, mempunyai beberapa tingkatan sesuai dengan status sosial
orang yang meninggal dunia di dalam masyarakat Toraja. Tingkatan tersebut
antara lain :
o
Tingkatan pertama : Disilli
Yaitu
upacara pemakaman bagi orang dari tingkatan budak dengan memotong seekor babi.
o
Tingkatan kedua : Dipasang bongi
Yaitu
upacara pemakaman bagi golongan menengah, acaranya berlangsung satu hari di
rumah dengan memotong seekor kerbau dan beberapa ekor babi.
o
Tingkatan ketiga : Dipattalung bongi
Yaitu
upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga hari dengan memotong empat ekor
kerbau dan sekitar sepuluh ekor babi.
o
Tingkatan keempat : Dipalimang bongi
Yaitu
upacara pemakaman yang berlangsung selama lima hari dengan memotong sembilan
ekor kerbau dan puluhan ekor babi.
o
Tingkatan keenam : Dipappitung bongi
Yaitu
upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh hari dengan memotong sembilan
ekor kerbau dan lebih dari dua puluh ekor babi. Didalam upacara tersebut
diadakan upacara rapasan jenazah yaitu jenazah disimpan dalam peti jenazah
sampai kering. Jenis upacara ini hanya golongan bangsawan tinggi (tana’ bulaan)
dimana jenazahnya dibalu bulaan yaitu kain kafannya dihiasi benang emas sebagai
tanda yang menunjukkan kekayaan keluarga orang itu, dengan motif pa’doti siluan
(bagi wanita) sedangkan pa’bua kappa (bagi laki- laki) yang bermakna simbolik
kebangsawanan dan kemuliaan. [10]
2.6 Seni
Tradisional Toraja
Seni
tradisional masyarakat Toraja sangat lah indah. Terbukti karya seni yang sangat
menonjol adalah seni arsitektur bangunan rumah adat (Tongkonan) , lumbung padi
(alang) dan ukiran. Dinding tongkonan dan alang diukir dengan ragam hias
tradisional masyarakat Toraja disebut Tongkonan sura’ (banua sura’) dan alang
sura’.
Namun
tidak semua dinding rumah tradisional masyarakat Toraja dihiasi oleh ukiran,
karena beberapa ukiran merupakan simbol status sosial bagi orang- orang
tertentu dalam masyarakat Toraja sehingga penerapan motif tertentu harus
disesuaikan dengan aturan adat. Karya kerajinan masyarakat Toraja adalah ukiran
dan tenunan. Musik tradisional Toraja yaitu passuling, pa’pelle (pa’barrung),
pa’pompang (pa’bas), pa’tulali dan pa’keso’keso. Alat musik biasanya terbuat
dari bambu, batang lidi, daun enau, dan tempurung kelapa. Dan dimainkan pada
saat upacara adat.
BAB
III
KESIMPULAN
Bangsa Indonesia yang
kaya akan kebudayaan dan hasil alamnya harus kita jaga dan lestarikan. Karena
itu harta warisan sebuah bangsa Indonesia. Setiap wilayah memiliki kebudayaan
yang berbeda-beda seperti kebudayaan masyarakat Toraja. Masyarakat Toraja yang
terkenal dengan ukiran, hasil tenun, rumah tradisional yang banyak ukiran dan
hiasan di dinding rumah, serta tak lupa upacara adat yang penuh makna.
Meskipun tiap hiasan
rumah tradisional dan upacara pemakaman yang berdasarkan status sosial serta
kepercayaan yang berbeda- beda tetapi masyarakat Toraja tetap hidup berdamping
di atas segala perbedaan yang ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Aziz Said. 2004.
Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Izarwisma Mardanas,dkk.
1986. Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Proyek
Invantarisasi Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan, Depdikbud.
Tangdilintin LT. 1981.
Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan.
Koentjaraningrat. 1983.
Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
[1]
Abdul Aziz Said. 2004. Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm 7.
[2]
Ibid., hlm 7
[3]
Abdul Aziz Said. 2004. Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm 9.
[4]
Izarwisma Mardanas,dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan.
Jakarta: Proyek Invantarisasi Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan, Depdikbud.
hlm 77.
[5]
Tangdilintin LT. 1981. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja: Yayasan Lepongan
Bulan. Hlm 1.
[6]
Abdul Aziz Said. 2004. Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak. hlm 13-14 .
[7]
Ibid., hlm 25
[8]
Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia. hlm 148
[10]
Abdul Aziz Said. Ibid. hlm. 32-41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar