Senin, 27 Mei 2013

Sosiologi Pembangunan


MILITER DARI MASA KE MASA

A.    Latar Belakang masalah

Indonesia adalah negara besar di kawasan Asia Tenggara, bahkan negara kepulauan terbesar di dunia, sebagai negara kepulauan terbesar tentu saja Indonesia mempunyai kekuatan militer yang berguna menjaga keamanan negara Indonesia. Dalam perjalanan hidupnya, Indonesia sudah melewati lika-liku sejarah yang panjang. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah memproklamirkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka. Kemerdakaan Indonesia yang diperoleh ini, bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapatkan. Dalam proklamasi kemerdekannya Indonesia telah mengangkat dirinya dihadapan dunia bahwa : Indonesia itu ada, dengan wujudnya sebagai sebuah bangsa republik, dan merdeka. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari proses panjang perjuangan pergerakan nasional yang telah menumbuhkan jiwa nasionalisme. Kekuatan fisik yang terbentuk pada masa pendudukan Jepang terpadu dengan kekuatan jiwa nasionalisme dan aspirasi yang kuat untuk merdeka telah membangkitkan semangat kekuatan rakyat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan menegakkan kemerdekaan.
Dalam mempertahankan kemerdekaan ini segala kekuatan di kerahkan dan muncullah tentara-tentara atau pasukan keamanan yang bertugas untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dapat dipahami bahwa Militer Indonesia lahir bukan sebagai sesuatu yang instan. Akan tetapi melalui beberapa proses. Proses tersebut menyangkut kondisi dalam negeri saat itu. Sejak merdeka negara Indonesia tidak luput dari gejolak dan ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Tetapi bangsa Indonesia mampu mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya guna mempertahankan Indonesia, pemerintah berupaya untuk mengakomodir kelompok bersenjata yang pada saat itu revolusi kemerdekaan telah bermunculan, terutama pada laskar yang berasal dari kelompkk lokal yang memiliki sikap militan karena hasra mereka yang berapi-apai dalam hal memperjuangkan kemeredekaan rakyat dari para penjajahan. Dari sinilah pemerintah membentuk TKR yang bertugas untuk membela persatuan Republik Indonesia.
Sebelum menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), pada tanggal 22 Agustus 1945, angkatan senjata pertama dibentuk dengan nama BKR ( Badan Keamanan Rakyat). Pembentukan BKR dilakukan melalui sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. Dengan inilah, BKR merupakan cikal bakal dari TNI atau adanya militer yang ada di Indonesia. Anggota BKR saat itu adalah para pemuda Indonesia yang sebelumnya telah mendapat pendidikan militer sebagai tentara Heiho, Pembela Tanah Air (PETA), KNIL dan lain sebagainya. Yang diangkat menjadi komandan BKR adalah Arudji Kartawinata. Melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada perkembangannya, nama angkatan bersenjata Indonesia ini mengalami beberapa kali perubahan nama hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia.

B.     










BAB II
PEMBAHASAN
MILITER INDONESIA DARI MASA KE MASA
Seperti telah ditulis dalam pendahuluan, sejak bangsa Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai sebuah bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia telah mengalami berbagai macam gangguan baik dari dalam maupun luar Indonesia. Namun dengan sigapnya pemerintah Indonesia mengambil jalan cepat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia salah satunya membentuk angkatan bersenjata yang berguna untuk mempertahankan Indonesia dari berbagai gangguan. Dari sinilah kita dapat pahami bahwa militer Indonesia lahir bukan sebagai sesuatu yang instan. Akan tetapi melalui beberapa proses. Proses tersebut menyangkut kondisi dalam negeri. Fase yang pertama adalah militer pada masa 1945-1949. Pada fase tersebut militer hidup dalam suasana negara Indonesia yang tengah mempertahankan kemerdekaannya.
a.       Fase I    : Militer pada masa 1945-1950
Militer Indonesia memiliki keunikan dibandingkan dengan militer di negara lain, militer Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan membuatnya melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Keunikan inilah menjadikan peranan militer Indonesia menjadi tidak biasa. Penggalan sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi menjadikan militer tidak hanya menjadi instrumen pertahanan bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusn politik Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di atas, militer Indonesia tidak dibentuk dengan instan. Militer di Indonesia dibentuk dari embrio yang telah ada, antara lain Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), tentara Hindia Belanda (KNIL) serta badan-badan perjuangan (laskar).
Pada masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Belanda datang untuk mengambil kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Kedatangan belanda ditandai dengan  mendaratnya Inggris bersama tentara Belanda di Sabang, Aceh pada tanggal 23 agustus 1945. Lalu, Tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration – pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook.
Kedatangan NICA tersebut mengawali perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Selanjutnya, yang paling dekat dengan pembahasan ini adalah keterlibatan Militer dalam mempertahankan kemerdekaan ini. Yang disebut suhartono sebgaai periode Aksi. Sebuah periode yang sangat menonjolkan peran militer sebagai pihak yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan.
Salah satu dari peran militer ini adalah ketika belanda melancarkan agresi, baik agresi yang pertama maupun yang kedua. Menghadapi agresi ini, militer Indonesia mengembangkan “Sistem Wehrkreise” yang pada intinya membagi daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran (kreise) yang memungkinkan satuan-satuan militer secara mandiri mempertahankan (wehr) lingkaran pertahanannya.
Kemandirian pertahanan melingkar ini dilakukan dengan melakukan mobilisasi kekuatan rakyat dan sumber daya yang berada di lingkaran pertahanan tertentu. Sistem Wehrkreise ini kemudian dilengkapi dengan dalil-dalil perang gerilya sebagai bentuk operasional taktik militer di medan pertempuran. Sistem ini pertama kali digunakan oleh Divisi I/Siliwangi di Jawa Barat yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution dan Divisi II/Sunan Gunung Jati di Jawa Tengah yang dipimpin Kolonel Gatot Subroto. Konsepsi baru ini diadopsi oleh Panglima TNI Jenderal Sudirman melalui Perintah Siasat No.1. Perintah siasat ini menginstruktikan pembentukan kantong-kantong di setiap distrik militer yang diselenggarakan oleh suatu Wehrkrise sehingga seluruh pulau akan menjadi suatu medan perang gerilya yang besar.
Dengan sistem ini, membuat sipil dan militer cukup dekat waktu itu. Dan selanjutnya, hubungan mesra itu berlanjut. Sampai pada ketika terjadi serangan agresi belanda II ke yogyakarta. Sebelum serangan militer belanda, Soekarno pernah berpidato bahwa jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya, dia sendiri yang akan memimpin perang grilya.
Namun, ketika serangan itu tiba, Soekarno dan pemimpin republik merencanakan tetap tinggal. Artinya menyerah kepada Belanda. Reaksi kalangan militer tentu kecewa, terutama bagi kalangan perwira yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya bersedia untuk bergrilya. Peristiwa ini menurut Ulf Sundhaussen merupakan awal rusaknya hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia. Kejadian-kejadian di atas lah yang memperkuat legitimasi atas keterlibatan militer dalam perpolitikan di Indonesia.
b.      Fase II   : Militer pada masa 1950-1959
Periode ini RI diguncang oleh gangguan gerakan separatisme dan di sana-sini timbul gerakan lokal. Lewat TNI gerakan-gerakan itu dipadamkan, bahkan reputasinya dapat dibanggakan dalam menumpas PRRI/PERMESTA (1957/1958). Karya Nasution di atas masih relevan untuk memperkuat posisi TNI sebagai pengawal keamanan.  Setelah penyerahan kedaulatan dari RIS ke Negara Kesatuan RI peran politik militer dibatasi. Kedudukan militer dikembalikan ke masa awal proklamasi dalam hubungan seimbang karena diberlakukannya UUDS 1950 yang menempatkan sipil di atas militer sebagai manifestasi demokrasi liberal Barat.
Hubungan sipil-militer makin renggang dan tidak stabil. Di satu pihak sipil membuat divisi-divisi dalam militer dan menentang usaha-usaha militer membentuk standar profesional, sedang militer sebenarnya mendukung upaya pembangunan demokrasi parlementer yang pada waktu yang bersamaan akan terbentuk profesionalisme militer yang otomatis terpisah dari aktifitas politik kepartaian. Rupanya pemerintah tidak tanggap terhadap keinginan militer yang ditandai eengganan parlemen untuk tidak dapat menerima standar profesional militer maka muncullah Peristiwa 17 Oktober 1952 sebagai tanda  kekesalan militer. Pada tanggal tersebut terjadi demonstran menuntut dibubarkan Parlemen. Mereka mendesak Presiden Soekarno agar membubarkan DPR (s) dan menggantinya dengan DPR yang baru. Selain itu, militer juga kesal terhadap para politisi partai di parlemen. Mereka bukannya meluluskan perundang-undangan yang mendesak siperlukan, melainkan menyibukkan diri untuk menjatuhkan kabinet. Peristiwa 17 Oktober 192 menyebabkan terjadinya dua blok dalam Angkatan darat, yang pro dan yang kontra.
Dari sinilah militer terdorong untuk mengambil peranan dalam bidang politik mengingat peranan militer sangat besar dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Menurut Daniel Lev beban berat yang harus di pikul TNI menyebabkan adanya pemikiran memegang peranannya dalam urusan negara. Kesempatan ini terbujka lebar pada 1956-1957, yaitu dengan munculnya konflik daerah melawan pusat yang semakin memuncak. Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandat dan presiden Soekarno memberlakukan Undang-undang Keadaan Darurat (SOB) pada bulan Maret 1957 dan atas dasar SOB itulah dibentuk sebuah Lembaga Dewan Nasional, yang di dalamnya terdapat para perwira militer sebagai anggotanya. Untuk mengantisipasi kudeta yang dilakukan oleh militer, maka muncullah gagasan konsep jalan tengah yang berisi jaminan tentara tidak akan melakukan kudeta. Konsep jalan tengah yang diambil dari pemikiran nasutin itu adalah Dwi fungsi ABRI. Konsep Dwifungsi ABRI inilahyang memberipeluang besar bagi tentara untuk berperan dalam kehidupan sosial-politi, menduduki jabatan strategis, dan melakukan bisnis.
c.       Fase III  : Militer pada masa demokrasi terpimpin
Ciri- ciri periode iniialah didominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh politik dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial- politik. Pada tanggal 4 Januari 1961 dicapai persetujuan bagi pembelian persenjataan militer uni soviet yang dilakukan antara Menteri Pertahanan Jenderal A. H. Nasution dengan Menteri Luar Negeri Uni Soviet Mikoyan. Dengan pembelian persenjataan militer oleh Indonesia dari Uni Soviet telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kekuatan militer yang kuat dan yang baik di kawasan Asia Tenggara, bahkan Indonesia adalah negara pertama di belahan bumi selatan yang mempunyai kapal- kapal berpeluru kendali. Indonesia adalah salah satu dari tiga negara Asia disamping Jepang dan RRC yang memiliki kapal- kapal selam berkekuatan perusak sangat dahsyat.
Disebabkan karena penyelesaian masalah Irian Barat lamban sekali dan jalannya tersendat- sendat maka pada tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno segera mengumumkan mobilisasi nasional atau yang lebih dikenal dengan Trikora. Adapun isi Trikora adalah; 1) kibarkan Bendera Merah Putih di Irian Barat; 2) gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua bikinan kolonial Belanda; 3) mobilisasi umum.
Dalam persiapan operasi militer untuk menyerang Irian Barat terjadi insiden di Laut Aru, dimana kesatuan ALRI yang terdiri dari beberapa kapal cepat torpedo MTB-2 yang sedang melakukan patroli disekitar Kepulauan Aru diserang oleh Angkatan Laut Belanda yang terdiri dari satu destroyer, satu fregat, dan kapal terbang. Salah satu kapal RI macan tutul tenggelam ditembak kapal perang Belanda, Laksamana Jos Sudarso gugur dalam insiden tersebut. Begitu besar amarah Presiden Soekarno setelah mendengar berita tentang pertempuran di laut sekitar Kepulauan Aru.
Kemudian Presiden Soekarno mengutus Menlu Dr. Soebandrio untuk menemuai Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy. Dan akhirnya Amerika Serikat mengirim utusan jaksa agung Robert Kennedy ke Indonesia guna membicarakan Irian Barat. Namun pengiriman utusan tersebut dikecam oleh Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns. Akhirnya dengan melalui perundingan antara utusan Amerika Serika dan Indonesia dicapai kata sepakat bahwa Amerika Serikat mengabulkan tuntutan Indonesia agar Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia secara damai.
Ada tiga faktor yang melatarbelakangi Presiden Soekarno mengambil sikap politik luar negerinya untuk merebut Irian Barat dari kolonial Belanda
1)      Irian Barat merupakan salah satu pulau terbesar di Asia Pasifik yang akan dijadikan pangkalan militer oleh AS dan Belanda untuk membendung komunsme dan dapat dijadikan provokasi, intimidasi dan subversi terhadap bangsa dan negara Indonesia.
2)      Irian Barat bagi Indonesia memiliki nilai strategis militer yang bisa digunakan oleh kolonial Belanda untuk mengacaukan dan menggoyahkan keamanan nasional Belanda.
3)      Irian Barat banyak memiliki barang tambang yang sangat strategis dalam proses industrialisasi, seperti minyak dan gas bumi, uranium (bahan dasar nuklir), dan tembaga.
Dengan dikembalikan wilayah Irian Barat oleh Belanda kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 maka lengkaplah wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke.
Dalam masa demokrasi terpimpin ini setelah pembebasan Irian Barat berhasil, muncul masalah baru yaitu Konfrontasi Malaysia. Konfrontasi Indosia- Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai ganyang Malaysia adalah sebuah perang mengenai masa depan pulau Kalimantan, antara Malaysia dengan Indonesia pada tahun 1962-1966. Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei , Sabah dan Sarawak dengan persekutuan tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai “Boneka” Britania. Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Rencana ini ditentang oleh Pemerintah Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kepulauan Sulu.
Pada 8 Desember 1962 Tentara Nasional Kalimantan Utara mencoba menangkap Sultan Brunei namun Sultan berhasil meloloskan diri dan meminta pertolongan Inggris. Pada 17 April 1963 Inggris berhasil mengatasi pemberontakan dan pemimpin pemberontakan ditangkap sehingga pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas didaerah yang ribut memilihnya dalam sebuah Referendum yang di organisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar. Tetapi Pemimpin Indonesia melihat hal ini ssebagai perjanjian yang dilanggar.  
Sejak demontrasi anti- Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno membawa lambang negara Garuda Pancasila kehadapan Tuanku Abdulrahman dan memaksanya untuk menginjak Garuda. Amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. Soekarno yang murka karena hal ini mengutuk tindakan tersebut dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan “Ganyang Malaysia” kepada federasi Malaysia.
Pada 20 Januari 1963 Menlu Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April Pasukan Militer tidak resmi mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan serta sabotase. Pada 16 Agustus pasukan dari Rejimen Askar Melayu Di Raja berhadapan dengan gerilya Indonesia. Ketegangan berkembang di kedua belah pihak disepanjang perbatasan Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan.
Pada 1964 Pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah Semenanjung Malaya. Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Bajkan tidak tanggung-tanggung, Inggris menerjukan pasukan elit termuka di dunia untuk menghadapi tentara Indonesia. Inggris mengakui, operasi bersenjata yang dilakukan tentara Indonesia termasuk hebat dan kuat. Dengan hal ini maka dapat di ketahui sejak masa demokrasi terpimpin militer Indonesia mempunyai kekuatan yang kuat dan hebat, yang ditakuti oleh negara-negara lain.
d.      Fase IV  : Militer pada masa demokrasi pancasila ( Orde Baru)
Sejarah keterlibatan militer dalam politik diawali pada akhir pemerintahan Soekarno dan semakin begitu mendominasi kehidupan politik ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan yang kemudian berlangsung selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan like or dislike, telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Richard Tanter, seorang Pengamat politik militer dari AS, menilai bahwa Indonesia dibawah Soeharto telah menjadi negara intel. Model operasinya, Tanter menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko dan hantam selalu dari belakang. Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror yang dilakukan oleh aparat militer dipandang paling efektif. Represif militer hanya menimbulkan kebiadaban dan berbagai bentuk kekerasan politik yang intinya adalah diluar batas kemanusiaan.
Proses demokratisasi hanya bisa tumbuh didalam komunitas masyarakat dimana terdapat optimalisasi peran dan fungsi civil society serta lembaga - lembaga politik. Referensi dan wacana dalam political science selalu menghasilkan suatu tesis bahwa keterlibatan militer dalam politik hanya akan menghasilkan pemerintahan yang otoritarianisme. Dalam konteks politik indonesia saat ini, diperlukan sebuah platform baru untuk meminimalisir peran politik militer dengan tujuan menstimulasi proses demokratisasi. Dalam teori hubungan sipil - militer seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dalam karyanya the soldier and the state : the theory of civil - military relations, usaha pengendalian golongan sipil terhadap kelompok militerdibagi dua metode. Pertama, disbut pengendalian sipil subyektif. Metode ini dilakukan dengan memperbesar kekuasaan sipil dibandingkan militer. Namun metode ini akan mengalami banyak tantangan sebab yang namanya golongan sipil itu merupakan kelompok yang heterogen dan mempunyai kepentingan yang berbeda- beda. Metode kedua, disebut pengendalian sipil obyektif. Metode ini dilakukan dengan cara meningkatkan profesionalisme kelompok militer. Dalam pengertian ini kekuasaan militer akan diminimalkan tetapi tidak dilenyapkan sama sekali. Militer masih diberikan kekuasaan sebatas yang diperlukan, dan dengan demikian tetap menjalankan sesuai dengan profesinya. Landasan teoritis yang diajukan oleh Huntington mungkin bisa menjadi kerangka berpikir bagi kekuatan - kekuatan sipil untuk menggusur militer dari pentas politik.
Sejak Pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai keidupan non - militer telah merupakan sebuah keniscayaan. Baik melalui doktrin peran sosial politik ABRI maupun ketentuan perundangan yang mendasarinya, sampai ke implementasi strukturalnya, kehadiran ABRI dalam berbagai kehidupan telah menjadi tak terpisahkan dari perjalanan Republik ini. Dalam pemikiran William Liddle, pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari pelembagaan Piramida Orde Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan yang sangat dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses decision making yang berpusat pada birokrasi, dan pola hubungan state - society yang mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi. Fenomena tersebut kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan efektivitas konsep Dwifungsi ABRI.
Dekonstruksi dan kaji ulang terhadap konsep Dwifungsi ABRI merupkan kebutuhan politik yang mendesak disaat angin reformasi sedang berhembus. Ketika masyarakat mulai sepakat mendefinisikan reformasi sebagai redemokratisasi, muncul beberapa pertanyaan akan posisi ABRI dalam proses reformasi serta bagaiman seandainya ABRI mempertahankan status quo. Beberapa pemikiran kemudian muncul untuk melenyapkan militer dari panggung politik. Kontroversi dari Dwifungsi ABRI timbul karena adanya ekses negatif di masyarakat seperti stabilitas menjadi tujuan, dinamika masyarakat menjadi terhambat, aspirasi akan pluralitas dikalahkan keseragaman dan monoloyalitas, sementara asas desentralisasi melemah bersama menguatnya sentralisasi, sehingga demokrasi sulit dicapai karena adanya pelembagaan otoritarianisme.
Secara struktural, banyak pula dikalangan militer yang diposkan pada posisi yang sebelumnya dianggap domain - nya orang sipil. Kaji ulang Dwifungsi ABRI banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Beberapa hal yang menyangkut meningkatnya stabilitas politik, menguatnya civil society, globalnya tuntutan demokratisasi serta diferensiasi dan profesionalisme, merupakan faktor bagi militer untuk re - thinking terhadap keterlibatannya dalam militer. Selain itu, kekerasan politik sebagai ekses dari prakter militeristik begitu mendominasi kehidupan politik rezim Orde Baru. Diawal orde Baru, korban- korban kekerasan dan penyiksaan adalah para tersangka G 30 S dan pendukung Soekarno, di era 70 - an korban penyiksaan bergeser ke mahasiswa kritis, lalu 80 - an korban bergeser ke kalangan tokoh islam kritis, dan memasuki era 90 - an mahasiswa dan aktivis Pro Demokrasi selalu menjadi korban dari praktek politik yang militeristik. Pola - pola penyiksaan yang bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM tersebut terus berlangsung selama 32 tahun kekuasaan rezime Orde Baru.
Telah menjadi kepentingan kita semua bahwa peran politik ABRI dimasa mendatang bagaimanapun harus dihilangkan. Dalam konteks politik Indonesia menurut Harold Crouch, diperkirakan munculnya friksi atau perpecahan antar elite penguasa khususnya militer, merupakan faktor kunci untuk demokratisasi terlebih bila tiap kubu menjalin aliansi dengan kelompok - kelompok masyarakat. Namun perjuanmgan kearah demokratisasi dan penguatan civil society tidak dapat mengharapkan dari konflik antar elite ataupun political will dari penguasa, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dari generasi ke generasi.
Optimalisasi partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembag politik menjadi agenda terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk meminimalisir peran politik militer. Berbagai wacana politik yang kita pelajari hampir selalu mengajari kita bahwa dalam sistem politik idealnya lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang, dengan sesuatu kekuatan check and balances tanpa mengikutsertakan militer didalamnya sebagai kekuatan politik. Alhasil, dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian tersebut diharapkan akan dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan ( state ) yang merefleksikan kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat ( society ). Karena itu, merupakan kepentingan kita untuk mengajak semua kekuatan Pro Demokrasi untuk memberikan kontribusi pemikiran sebagai landasan perjuangan dalam menolak segala bentuk pemerintahan yang bersifat militeristik. Perkembangan arus demokratisasi yang begitu kuat ditengah proses reformasi saat ini, melahirkan pemikiran baru bahwa militer sebagai sebuah kekuatan politik sudah tidak diperlukan lagi.
Krisis ekonomi yang telah menjelma menjadi ketidakpastian politik yang berkepanjangan membuat diversifikasi kebijakan politik Orde Baru yang selama ini tercentralistik kepada satu kekuatan politik dibawah legitimasi Panglima tertinggi ABRI. Dalam analisis pendekatan struktural, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat di tanah air, dinilai tidak menciptakan struktur sosial ekonomi yang menjadi dasar bagi kukuhnya proses demokratisasi.



e.       Fase V   : Militer pada masa Orde reformasi 
Militer pada masa orde baru jelas sangat jauh berbeda dengan pada masa orde reformasi. Soeharto menjadikan militer sebagai kekuatan yang dominan dan stabilator, militer sebagai kekuatan negara, sebagai kekuatan politik. Sedangkan pada era reformasi, militer tidak diperbolehkan berkecimpung di dalam politik praktis.
Pada masa ini, militer di Indonesia tidak dapat diremehkan lagi. Bahkan kekuatan Militer Indonesia sudah diperhitungkan oleh negara-negara tetangga. Berdasarkan update dari www.globalfirepower.com tentang peringkat kekuatan militer negara di dunia pada tahun 2013 ini banyak terjadi perubahan, dan bahkan negara indonesia naik 3 peringkat dari tahun sebelumnya ke posisi ranking 15, pada tahun 2012 kekuatan militer indonesia menempati posisi 18. Sedangkan untuk posisi di Benua Asia Indonesia menempati posisi 5 di asia sebagai kekuatan perang asia, indonesia unggul dari iran, jepang, australia, arab saudi, korea utara, negara negara yang terkenal radikal di asia seperti iran dan korea utara harus rela berada di bawah posisi indonesia. Sedangkan di asia tenggara indonesia menempati posisi ranking 1 disusul thailand, vietnam, philipina, malaysia, singapura dll. Kekuatan militer di Indonesia tidak dapat diremehkan bahkan dipandang sebelah mata lagi oleh bangsa lain.






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Akhirnya, dalam makalah ini kami menyimpulkan bahwa ketika Indonesia baru merdeka, keadaan Indonesia masih dalam keadaan yang begitu sulit. Kekacauan terjadi ketika kemerdekaan Indonesia ini masih berumur jagung. Dengan adanya gangguan-gangguan ini, pemerintah Indonesia berusaha membuat angkatan bersenjata guna untuk melindungi kedaulatan Republik Indonesia dari segala macam gangguan-gangguan yang ada. Militer Indonesia terbentuk melalui proses yang tidak instan melalu beberapa tahap hingga akhirnya Militer Indonesia diperhitungkan di luar Indonesia. Dalam perjalannya, Militer sudah melalui berbagai fase diantaranya fase tahun 1945-1950, 1950-1959, masa demokrasi terpimpin, masa demokrasi Orde Baru, masa demokrasi Orde Reformasi.











DAFTAR PUSTAKA

George McTurnan Kahin. 1995. Nasionalime dan Revolusi di Indonesia. Solo. UNS
J.W. Lotz. 2010. Kepungan Yahudi di Cikeas. Yogyakarta; Pustaka Solomon
Marwati Djoened Poesponegoro,dkk.2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta; Balai Pustaka.

Sumber lain
Internet :
http://zamenisme.wordpress.com/2010/03/03/perjalanan-politik-militer-di-indonesia-1945-1959-2/




Tidak ada komentar:

Posting Komentar