MILITER DARI MASA KE MASA
A. Latar
Belakang masalah
Indonesia
adalah negara besar di kawasan Asia Tenggara, bahkan negara kepulauan terbesar
di dunia, sebagai negara kepulauan terbesar tentu saja Indonesia mempunyai
kekuatan militer yang berguna menjaga keamanan negara Indonesia. Dalam perjalanan
hidupnya, Indonesia sudah melewati lika-liku sejarah yang panjang. Pada tanggal
17 Agustus 1945, Indonesia telah memproklamirkan dirinya sebagai bangsa yang
merdeka. Kemerdakaan Indonesia yang diperoleh ini, bukanlah sesuatu yang mudah
untuk didapatkan. Dalam proklamasi kemerdekannya Indonesia telah mengangkat
dirinya dihadapan dunia bahwa : Indonesia itu ada, dengan wujudnya sebagai
sebuah bangsa republik, dan merdeka. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari
proses panjang perjuangan pergerakan nasional yang telah menumbuhkan jiwa
nasionalisme. Kekuatan fisik yang terbentuk
pada masa pendudukan Jepang terpadu
dengan kekuatan jiwa nasionalisme dan aspirasi yang kuat untuk merdeka telah
membangkitkan semangat kekuatan rakyat
untuk mewujudkan, mempertahankan, dan menegakkan kemerdekaan.
Dalam mempertahankan kemerdekaan ini segala kekuatan di
kerahkan dan muncullah tentara-tentara atau pasukan keamanan yang bertugas
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dapat
dipahami bahwa Militer Indonesia lahir bukan sebagai sesuatu yang instan. Akan
tetapi melalui beberapa proses. Proses tersebut menyangkut kondisi dalam negeri
saat itu. Sejak merdeka negara Indonesia tidak luput dari gejolak dan ancaman
yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Tetapi bangsa Indonesia mampu
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya guna mempertahankan Indonesia,
pemerintah berupaya untuk mengakomodir kelompok bersenjata yang pada saat itu
revolusi kemerdekaan telah bermunculan, terutama pada laskar yang berasal dari
kelompkk lokal yang memiliki sikap militan karena hasra mereka yang berapi-apai
dalam hal memperjuangkan kemeredekaan rakyat dari para penjajahan. Dari sinilah
pemerintah membentuk TKR yang bertugas untuk membela persatuan Republik Indonesia.
Sebelum
menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), pada tanggal 22 Agustus 1945, angkatan
senjata pertama dibentuk dengan nama BKR ( Badan Keamanan Rakyat). Pembentukan
BKR dilakukan melalui sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 dan
diumumkan oleh Presiden Soekarno pada
tanggal 23 Agustus 1945. Dengan
inilah, BKR merupakan cikal bakal dari TNI atau adanya militer yang ada di
Indonesia. Anggota BKR saat itu adalah para pemuda Indonesia yang sebelumnya
telah mendapat pendidikan militer sebagai
tentara Heiho, Pembela Tanah Air (PETA), KNIL dan lain sebagainya. Yang diangkat
menjadi komandan BKR adalah Arudji Kartawinata. Melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada
perkembangannya, nama angkatan bersenjata Indonesia ini mengalami beberapa kali
perubahan nama hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia.
B.
BAB II
PEMBAHASAN
MILITER INDONESIA DARI MASA KE MASA
Seperti telah ditulis dalam pendahuluan, sejak bangsa
Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai sebuah bangsa yang merdeka, bangsa
Indonesia telah mengalami berbagai macam gangguan baik dari dalam maupun luar
Indonesia. Namun dengan sigapnya pemerintah Indonesia mengambil jalan cepat
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia salah satunya membentuk angkatan
bersenjata yang berguna untuk mempertahankan Indonesia dari berbagai gangguan.
Dari sinilah kita dapat pahami bahwa militer Indonesia lahir bukan sebagai
sesuatu yang instan. Akan tetapi melalui beberapa proses. Proses tersebut
menyangkut kondisi dalam negeri. Fase yang pertama adalah militer pada masa
1945-1949. Pada fase tersebut militer hidup dalam suasana negara Indonesia yang
tengah mempertahankan kemerdekaannya.
a.
Fase I : Militer pada masa 1945-1950
Militer
Indonesia memiliki keunikan dibandingkan dengan militer di negara lain, militer
Indonesia membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan
penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perjuangan mendapatkan kemerdekaan
membuatnya melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara fisik
akan tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia.
Keunikan inilah menjadikan peranan militer Indonesia menjadi tidak biasa.
Penggalan sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi menjadikan militer tidak hanya
menjadi instrumen pertahanan bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi
menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusn politik
Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di atas, militer Indonesia tidak
dibentuk dengan instan. Militer di Indonesia dibentuk dari embrio yang telah
ada, antara lain Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), tentara Hindia
Belanda (KNIL) serta badan-badan perjuangan (laskar).
Pada
masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Belanda datang untuk mengambil
kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Kedatangan belanda
ditandai dengan mendaratnya Inggris bersama tentara Belanda di Sabang,
Aceh pada tanggal 23 agustus 1945. Lalu, Tentara Inggris selaku wakil Sekutu
tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada
Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil
Administration – pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr.
Hubertus J van Mook.
Kedatangan
NICA tersebut mengawali perjuangan Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya. Selanjutnya, yang paling dekat dengan pembahasan ini adalah
keterlibatan Militer dalam mempertahankan kemerdekaan ini. Yang disebut
suhartono sebgaai periode Aksi. Sebuah periode yang sangat menonjolkan peran
militer sebagai pihak yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan.
Salah
satu dari peran militer ini adalah ketika belanda melancarkan agresi, baik
agresi yang pertama maupun yang kedua. Menghadapi agresi ini, militer Indonesia
mengembangkan “Sistem Wehrkreise” yang pada intinya membagi daerah pertempuran dalam
lingkaran-lingkaran (kreise) yang memungkinkan satuan-satuan militer secara
mandiri mempertahankan (wehr) lingkaran pertahanannya.
Kemandirian
pertahanan melingkar ini dilakukan dengan melakukan mobilisasi kekuatan rakyat
dan sumber daya yang berada di lingkaran pertahanan tertentu. Sistem Wehrkreise ini kemudian dilengkapi
dengan dalil-dalil perang gerilya sebagai bentuk operasional taktik militer di
medan pertempuran. Sistem ini pertama kali digunakan oleh Divisi I/Siliwangi di
Jawa Barat yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution dan Divisi II/Sunan Gunung
Jati di Jawa Tengah yang dipimpin Kolonel Gatot Subroto. Konsepsi baru ini
diadopsi oleh Panglima TNI Jenderal Sudirman melalui Perintah Siasat No.1.
Perintah siasat ini menginstruktikan pembentukan kantong-kantong di setiap
distrik militer yang diselenggarakan oleh suatu Wehrkrise
sehingga seluruh pulau akan menjadi suatu medan
perang gerilya yang besar.
Dengan
sistem ini, membuat sipil dan militer cukup dekat waktu itu. Dan selanjutnya,
hubungan mesra itu berlanjut. Sampai pada ketika terjadi serangan agresi
belanda II ke yogyakarta. Sebelum serangan militer belanda, Soekarno pernah
berpidato bahwa jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya, dia
sendiri yang akan memimpin perang grilya.
Namun,
ketika serangan itu tiba, Soekarno dan pemimpin republik merencanakan tetap
tinggal. Artinya menyerah kepada Belanda. Reaksi kalangan militer tentu kecewa,
terutama bagi kalangan perwira yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya bersedia
untuk bergrilya. Peristiwa ini menurut Ulf Sundhaussen merupakan awal rusaknya
hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia. Kejadian-kejadian di atas
lah yang memperkuat legitimasi atas keterlibatan militer dalam perpolitikan di
Indonesia.
b.
Fase II : Militer pada masa 1950-1959
Periode
ini RI diguncang oleh gangguan gerakan separatisme dan di sana-sini timbul
gerakan lokal. Lewat TNI gerakan-gerakan itu dipadamkan, bahkan
reputasinya dapat dibanggakan dalam menumpas PRRI/PERMESTA (1957/1958). Karya
Nasution di atas masih relevan untuk memperkuat posisi TNI sebagai pengawal
keamanan. Setelah penyerahan kedaulatan dari RIS ke Negara Kesatuan
RI peran politik militer dibatasi. Kedudukan militer dikembalikan ke
masa awal proklamasi dalam hubungan seimbang karena diberlakukannya UUDS
1950 yang menempatkan sipil di atas militer sebagai manifestasi demokrasi
liberal Barat.
Hubungan
sipil-militer makin renggang dan tidak stabil. Di satu pihak sipil membuat
divisi-divisi dalam militer dan menentang usaha-usaha militer membentuk standar
profesional, sedang militer sebenarnya mendukung upaya pembangunan demokrasi
parlementer yang pada waktu yang bersamaan akan terbentuk profesionalisme
militer yang otomatis terpisah dari aktifitas politik kepartaian.
Rupanya pemerintah tidak tanggap terhadap keinginan militer yang ditandai
eengganan parlemen untuk tidak dapat menerima standar profesional militer maka
muncullah Peristiwa 17 Oktober 1952 sebagai tanda kekesalan militer.
Pada tanggal tersebut terjadi demonstran menuntut dibubarkan Parlemen. Mereka
mendesak Presiden Soekarno agar membubarkan DPR (s) dan menggantinya dengan DPR
yang baru. Selain itu, militer juga kesal terhadap para politisi partai di
parlemen. Mereka bukannya meluluskan perundang-undangan yang mendesak
siperlukan, melainkan menyibukkan diri untuk menjatuhkan kabinet. Peristiwa 17
Oktober 192 menyebabkan terjadinya dua blok dalam Angkatan darat, yang pro dan
yang kontra.
Dari
sinilah militer terdorong untuk mengambil peranan dalam bidang politik
mengingat peranan militer sangat besar dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Menurut
Daniel Lev beban berat yang harus di pikul TNI menyebabkan adanya pemikiran
memegang peranannya dalam urusan negara. Kesempatan ini terbujka lebar pada
1956-1957, yaitu dengan munculnya konflik daerah melawan pusat yang semakin
memuncak. Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandat dan presiden Soekarno
memberlakukan Undang-undang Keadaan Darurat (SOB) pada bulan Maret 1957 dan
atas dasar SOB itulah dibentuk sebuah Lembaga Dewan Nasional, yang di dalamnya
terdapat para perwira militer sebagai anggotanya. Untuk mengantisipasi kudeta
yang dilakukan oleh militer, maka muncullah gagasan konsep jalan tengah yang
berisi jaminan tentara tidak akan melakukan kudeta. Konsep jalan tengah yang
diambil dari pemikiran nasutin itu adalah Dwi fungsi ABRI. Konsep Dwifungsi
ABRI inilahyang memberipeluang besar bagi tentara untuk berperan dalam
kehidupan sosial-politi, menduduki jabatan strategis, dan melakukan bisnis.
c.
Fase III : Militer pada masa demokrasi terpimpin
Ciri-
ciri periode iniialah didominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai
politik, berkembangnya pengaruh politik dan meluasnya peranan ABRI sebagai
unsur sosial- politik. Pada tanggal 4 Januari 1961 dicapai persetujuan bagi
pembelian persenjataan militer uni soviet yang dilakukan antara Menteri
Pertahanan Jenderal A. H. Nasution dengan Menteri Luar Negeri Uni Soviet
Mikoyan. Dengan pembelian persenjataan militer oleh Indonesia dari Uni Soviet
telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kekuatan militer yang
kuat dan yang baik di kawasan Asia Tenggara, bahkan Indonesia adalah negara
pertama di belahan bumi selatan yang mempunyai kapal- kapal berpeluru kendali.
Indonesia adalah salah satu dari tiga negara Asia disamping Jepang dan RRC yang
memiliki kapal- kapal selam berkekuatan perusak sangat dahsyat.
Disebabkan
karena penyelesaian masalah Irian Barat lamban sekali dan jalannya tersendat-
sendat maka pada tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno segera mengumumkan mobilisasi
nasional atau yang lebih dikenal dengan Trikora. Adapun isi Trikora adalah; 1)
kibarkan Bendera Merah Putih di Irian Barat; 2) gagalkan pembentukan Negara
Boneka Papua bikinan kolonial Belanda; 3) mobilisasi umum.
Dalam
persiapan operasi militer untuk menyerang Irian Barat terjadi insiden di Laut
Aru, dimana kesatuan ALRI yang terdiri dari beberapa kapal cepat torpedo MTB-2
yang sedang melakukan patroli disekitar Kepulauan Aru diserang oleh Angkatan Laut
Belanda yang terdiri dari satu destroyer, satu fregat, dan kapal terbang. Salah
satu kapal RI macan tutul tenggelam ditembak kapal perang Belanda, Laksamana
Jos Sudarso gugur dalam insiden tersebut. Begitu besar amarah Presiden Soekarno
setelah mendengar berita tentang pertempuran di laut sekitar Kepulauan Aru.
Kemudian
Presiden Soekarno mengutus Menlu Dr. Soebandrio untuk menemuai Presiden Amerika
Serikat John F. Kennedy. Dan akhirnya Amerika Serikat mengirim utusan jaksa
agung Robert Kennedy ke Indonesia guna membicarakan Irian Barat. Namun
pengiriman utusan tersebut dikecam oleh Menteri Luar Negeri Belanda Joseph
Luns. Akhirnya dengan melalui perundingan antara utusan Amerika Serika dan
Indonesia dicapai kata sepakat bahwa Amerika Serikat mengabulkan tuntutan
Indonesia agar Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia secara damai.
Ada
tiga faktor yang melatarbelakangi Presiden Soekarno mengambil sikap politik
luar negerinya untuk merebut Irian Barat dari kolonial Belanda
1)
Irian Barat merupakan salah satu
pulau terbesar di Asia Pasifik yang akan dijadikan pangkalan militer oleh AS
dan Belanda untuk membendung komunsme dan dapat dijadikan provokasi, intimidasi
dan subversi terhadap bangsa dan negara Indonesia.
2)
Irian Barat bagi Indonesia
memiliki nilai strategis militer yang bisa digunakan oleh kolonial Belanda
untuk mengacaukan dan menggoyahkan keamanan nasional Belanda.
3)
Irian Barat banyak memiliki barang
tambang yang sangat strategis dalam proses industrialisasi, seperti minyak dan
gas bumi, uranium (bahan dasar nuklir), dan tembaga.
Dengan
dikembalikan wilayah Irian Barat oleh Belanda kepada Indonesia pada tanggal 1
Mei 1963 maka lengkaplah wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke.
Dalam
masa demokrasi terpimpin ini setelah pembebasan Irian Barat berhasil, muncul
masalah baru yaitu Konfrontasi Malaysia. Konfrontasi Indosia- Malaysia atau
yang lebih dikenal sebagai ganyang Malaysia adalah sebuah perang mengenai masa
depan pulau Kalimantan, antara Malaysia dengan Indonesia pada tahun 1962-1966.
Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei , Sabah
dan Sarawak dengan persekutuan tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu
ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai “Boneka”
Britania. Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Rencana ini
ditentang oleh Pemerintah Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa
Malaysia hanya sebuah boneka Inggris dan konsolidasi Malaysia hanya akan
menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan
Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu
memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kepulauan Sulu.
Pada
8 Desember 1962 Tentara Nasional Kalimantan Utara mencoba menangkap Sultan
Brunei namun Sultan berhasil meloloskan diri dan meminta pertolongan Inggris.
Pada 17 April 1963 Inggris berhasil mengatasi pemberontakan dan pemimpin
pemberontakan ditangkap sehingga pemberontakan berakhir.
Filipina
dan Indonesia resminya setuju menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas
didaerah yang ribut memilihnya dalam sebuah Referendum yang di organisasi oleh
PBB. Tetapi, pada 16 September, Malaysia melihat pembentukan federasi ini
sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar.
Tetapi Pemimpin Indonesia melihat hal ini ssebagai perjanjian yang dilanggar.
Sejak
demontrasi anti- Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung
KBRI, merobek-robek foto Soekarno membawa lambang negara Garuda Pancasila
kehadapan Tuanku Abdulrahman dan memaksanya untuk menginjak Garuda. Amarah
Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. Soekarno yang murka karena hal ini
mengutuk tindakan tersebut dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan
gerakan yang terkenal dengan sebutan “Ganyang Malaysia” kepada federasi
Malaysia.
Pada
20 Januari 1963 Menlu Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia bermusuhan
terhadap Malaysia. Pada 12 April Pasukan Militer tidak resmi mulai memasuki
Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan serta
sabotase. Pada 16 Agustus pasukan dari Rejimen Askar Melayu Di Raja berhadapan
dengan gerilya Indonesia. Ketegangan berkembang di kedua belah pihak
disepanjang perbatasan Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan.
Pada
1964 Pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah Semenanjung Malaya. Di bulan
Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas
Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Bajkan tidak
tanggung-tanggung, Inggris menerjukan pasukan elit termuka di dunia untuk
menghadapi tentara Indonesia. Inggris mengakui, operasi bersenjata yang
dilakukan tentara Indonesia termasuk hebat dan kuat. Dengan hal ini maka dapat
di ketahui sejak masa demokrasi terpimpin militer Indonesia mempunyai kekuatan
yang kuat dan hebat, yang ditakuti oleh negara-negara lain.
d.
Fase IV : Militer pada masa demokrasi pancasila (
Orde Baru)
Sejarah
keterlibatan militer dalam politik diawali pada akhir pemerintahan Soekarno dan
semakin begitu mendominasi kehidupan politik ketika Soeharto mengambil alih
pemerintahan yang kemudian berlangsung selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan
mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi
terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana
politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga -
lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan
like or dislike, telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru
yang militeristik. Richard Tanter, seorang Pengamat politik militer dari AS,
menilai bahwa Indonesia dibawah Soeharto telah menjadi negara intel. Model
operasinya, Tanter menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko dan hantam selalu
dari belakang. Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror yang dilakukan oleh
aparat militer dipandang paling efektif. Represif militer hanya menimbulkan
kebiadaban dan berbagai bentuk kekerasan politik yang intinya adalah diluar
batas kemanusiaan.
Proses
demokratisasi hanya bisa tumbuh didalam komunitas masyarakat dimana terdapat
optimalisasi peran dan fungsi civil society serta lembaga - lembaga politik.
Referensi dan wacana dalam political science
selalu menghasilkan suatu tesis bahwa keterlibatan militer dalam politik hanya
akan menghasilkan pemerintahan yang otoritarianisme. Dalam konteks politik
indonesia saat ini, diperlukan sebuah platform baru untuk meminimalisir peran
politik militer dengan tujuan menstimulasi proses demokratisasi. Dalam teori
hubungan sipil - militer seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington
dalam karyanya the soldier and the state : the theory of civil - military
relations, usaha pengendalian golongan sipil terhadap kelompok militerdibagi
dua metode. Pertama, disbut pengendalian sipil subyektif. Metode ini dilakukan
dengan memperbesar kekuasaan sipil dibandingkan militer. Namun metode ini akan
mengalami banyak tantangan sebab yang namanya golongan sipil itu merupakan
kelompok yang heterogen dan mempunyai kepentingan yang berbeda- beda. Metode
kedua, disebut pengendalian sipil obyektif. Metode ini dilakukan dengan cara
meningkatkan profesionalisme kelompok militer. Dalam pengertian ini kekuasaan
militer akan diminimalkan tetapi tidak dilenyapkan sama sekali. Militer masih
diberikan kekuasaan sebatas yang diperlukan, dan dengan demikian tetap
menjalankan sesuai dengan profesinya. Landasan teoritis yang diajukan oleh
Huntington mungkin bisa menjadi kerangka berpikir bagi kekuatan - kekuatan
sipil untuk menggusur militer dari pentas politik.
Sejak
Pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai keidupan non -
militer telah merupakan sebuah keniscayaan. Baik melalui doktrin peran sosial
politik ABRI maupun ketentuan perundangan yang mendasarinya, sampai ke
implementasi strukturalnya, kehadiran ABRI dalam berbagai kehidupan telah
menjadi tak terpisahkan dari perjalanan Republik ini. Dalam pemikiran William
Liddle, pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari
pelembagaan Piramida Orde Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan
yang sangat dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses
decision making yang berpusat pada birokrasi, dan pola hubungan state - society
yang mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi. Fenomena tersebut
kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan efektivitas konsep Dwifungsi
ABRI.
Dekonstruksi
dan kaji ulang terhadap konsep Dwifungsi ABRI merupkan kebutuhan politik yang
mendesak disaat angin reformasi sedang berhembus. Ketika masyarakat mulai
sepakat mendefinisikan reformasi sebagai redemokratisasi, muncul beberapa
pertanyaan akan posisi ABRI dalam proses reformasi serta bagaiman seandainya
ABRI mempertahankan status quo. Beberapa pemikiran kemudian muncul untuk
melenyapkan militer dari panggung politik. Kontroversi dari Dwifungsi ABRI
timbul karena adanya ekses negatif di masyarakat seperti stabilitas menjadi
tujuan, dinamika masyarakat menjadi terhambat, aspirasi akan pluralitas
dikalahkan keseragaman dan monoloyalitas, sementara asas desentralisasi melemah
bersama menguatnya sentralisasi, sehingga demokrasi sulit dicapai karena adanya
pelembagaan otoritarianisme.
Secara
struktural, banyak pula dikalangan militer yang diposkan pada posisi yang
sebelumnya dianggap domain - nya orang sipil. Kaji ulang Dwifungsi ABRI banyak
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Beberapa hal yang menyangkut
meningkatnya stabilitas politik, menguatnya civil society, globalnya tuntutan
demokratisasi serta diferensiasi dan profesionalisme, merupakan faktor bagi
militer untuk re - thinking terhadap keterlibatannya dalam militer. Selain itu,
kekerasan politik sebagai ekses dari prakter militeristik begitu mendominasi
kehidupan politik rezim Orde Baru. Diawal orde Baru, korban- korban kekerasan
dan penyiksaan adalah para tersangka G 30 S dan pendukung Soekarno, di era 70 -
an korban penyiksaan bergeser ke mahasiswa kritis, lalu 80 - an korban bergeser
ke kalangan tokoh islam kritis, dan memasuki era 90 - an mahasiswa dan aktivis
Pro Demokrasi selalu menjadi korban dari praktek politik yang militeristik.
Pola - pola penyiksaan yang bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM
tersebut terus berlangsung selama 32 tahun kekuasaan rezime Orde Baru.
Telah
menjadi kepentingan kita semua bahwa peran politik ABRI dimasa mendatang
bagaimanapun harus dihilangkan. Dalam konteks politik Indonesia menurut Harold
Crouch, diperkirakan munculnya friksi atau perpecahan antar elite penguasa
khususnya militer, merupakan faktor kunci untuk demokratisasi terlebih bila
tiap kubu menjalin aliansi dengan kelompok - kelompok masyarakat. Namun
perjuanmgan kearah demokratisasi dan penguatan civil society tidak dapat
mengharapkan dari konflik antar elite ataupun political will dari penguasa, melainkan sesuatu yang harus
diperjuangkan dari generasi ke generasi.
Optimalisasi
partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembag politik menjadi agenda
terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk meminimalisir peran
politik militer. Berbagai wacana politik yang kita pelajari hampir selalu
mengajari kita bahwa dalam sistem politik idealnya lembaga legislatif,
eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang, dengan sesuatu kekuatan
check and balances tanpa mengikutsertakan militer didalamnya sebagai kekuatan
politik. Alhasil, dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian tersebut diharapkan
akan dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan ( state ) yang
merefleksikan kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat ( society ).
Karena itu, merupakan kepentingan kita untuk mengajak semua kekuatan Pro
Demokrasi untuk memberikan kontribusi pemikiran sebagai landasan perjuangan
dalam menolak segala bentuk pemerintahan yang bersifat militeristik.
Perkembangan arus demokratisasi yang begitu kuat ditengah proses reformasi saat
ini, melahirkan pemikiran baru bahwa militer sebagai sebuah kekuatan politik
sudah tidak diperlukan lagi.
Krisis
ekonomi yang telah menjelma menjadi ketidakpastian politik yang berkepanjangan
membuat diversifikasi kebijakan politik Orde Baru yang selama ini
tercentralistik kepada satu kekuatan politik dibawah legitimasi Panglima
tertinggi ABRI. Dalam analisis pendekatan struktural, industrialisasi dan
pertumbuhan ekonomi yang pesat di tanah air, dinilai tidak menciptakan struktur
sosial ekonomi yang menjadi dasar bagi kukuhnya proses demokratisasi.
e.
Fase V : Militer pada masa Orde reformasi
Militer
pada masa orde baru jelas sangat jauh berbeda dengan pada masa orde reformasi.
Soeharto menjadikan militer sebagai kekuatan yang dominan dan stabilator,
militer sebagai kekuatan negara, sebagai kekuatan politik. Sedangkan pada era
reformasi, militer tidak diperbolehkan berkecimpung di dalam politik praktis.
Pada
masa ini, militer di Indonesia tidak dapat diremehkan lagi. Bahkan kekuatan
Militer Indonesia sudah diperhitungkan oleh negara-negara tetangga. Berdasarkan
update dari www.globalfirepower.com tentang peringkat kekuatan militer negara
di dunia pada tahun 2013 ini banyak terjadi perubahan, dan bahkan negara
indonesia naik 3 peringkat dari tahun sebelumnya ke posisi ranking 15, pada
tahun 2012 kekuatan militer indonesia menempati posisi 18. Sedangkan untuk
posisi di Benua Asia Indonesia menempati posisi 5 di asia sebagai kekuatan
perang asia, indonesia unggul dari iran, jepang, australia, arab saudi, korea
utara, negara negara yang terkenal radikal di asia seperti iran dan korea utara
harus rela berada di bawah posisi indonesia. Sedangkan di asia tenggara
indonesia menempati posisi ranking 1 disusul thailand, vietnam, philipina,
malaysia, singapura dll. Kekuatan militer di Indonesia tidak dapat diremehkan
bahkan dipandang sebelah mata lagi oleh bangsa lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Akhirnya,
dalam makalah ini kami menyimpulkan bahwa ketika Indonesia baru merdeka,
keadaan Indonesia masih dalam keadaan yang begitu sulit. Kekacauan terjadi
ketika kemerdekaan Indonesia ini masih berumur jagung. Dengan adanya
gangguan-gangguan ini, pemerintah Indonesia berusaha membuat angkatan bersenjata
guna untuk melindungi kedaulatan Republik Indonesia dari segala macam gangguan-gangguan
yang ada. Militer Indonesia terbentuk melalui proses yang tidak instan melalu
beberapa tahap hingga akhirnya Militer Indonesia diperhitungkan di luar
Indonesia. Dalam perjalannya, Militer sudah melalui berbagai fase diantaranya
fase tahun 1945-1950, 1950-1959, masa demokrasi terpimpin, masa demokrasi Orde
Baru, masa demokrasi Orde Reformasi.
DAFTAR PUSTAKA
George McTurnan Kahin. 1995. Nasionalime dan Revolusi di Indonesia. Solo. UNS
J.W. Lotz. 2010. Kepungan
Yahudi di Cikeas. Yogyakarta; Pustaka Solomon
Marwati Djoened Poesponegoro,dkk.2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Jakarta; Balai Pustaka.
Sumber lain
Internet :
http://zamenisme.wordpress.com/2010/03/03/perjalanan-politik-militer-di-indonesia-1945-1959-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar